Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Itu Pagi di Bulan Syawal

2 Juli 2016   01:30 Diperbarui: 5 Maret 2020   19:15 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku pun demikian. Usai sholat idul fitri, khotib pun naik mimbar. Khotib yang tampak muda, dan cerdas ini memberikan pesan untuk jemaah mesjid agar memuliakan dan mendoakan orang tua. Orang tua, katanya, yang telah melahirkan, mendidik, dan membesarkan kita semua. Yang telah  memberikan perlindungan dan segala yang dimilikinya untuk kebaikan kita semua.

“ Jangan kemudian kita jadikan orang tua sebagai pembantu di rumah, jangan pula orang tua di pinggirkan di panti jompo! Tegasnya.

Seterusnya diingatkan agar jemaah segera datangi orang tua usai sholat ini. Bersimpuhlah pada mereka dan meminta maaf atas segala kesalahan sebagai anak selama ini. Tiada lain yang dapat  dilakukan di hari fitri ini, selain memohon keridhoannya untuk memaafkan. Ridho orang tua adalah ridho Allah Swt juga. Selanjutnya dikatakan, berlaku adillah terhadap istri, dan anak-anak. Saling memaafkan di antara keluarga, tetangga, dan kaum kerabat. Demikian antara lain yang diungkapkannya.

Khotib itu pun menutup pesannya di pagi yang cerah itu.

Seiring itu, bedug pun bertalu sebagaimana kebiasaan di desa ini. Takbir pun kian menggemuruh. Disusul jemaah yang kemudian membentuk barisan, berdiri secara rapat, sambil menanti langkah barisan awal yang tengah lebih dulu berjalan lambat, untuk saling menjabat tangan satu sama lain, di dalam mesjid. Satu demi satu, kata maaf saling terucap. Aku juga menanti dalam barisan itu.

Ada yang aku tunggu.

Ia ada di barisan awal. Shaf pertama sebelumnya. Dari jarak lima meter sudah terlihat. Melangkah pelan sembari menjabat tangan jemaah satu demi satu. Dari mulutnya jelas mengucapkan takbir. Ia masih sehat di usianya yang 84 tahun. Tinggi, putih, dan berkopiah hitam. Semakin langkahnya mendekat kian hati ini tak karuan.

Ia pun ada di hadapanku sekarang. Mengenali aku adalah anaknya. Tak kuasa mulut ini mengucapkan kata. Aku kemudian memeluknya, dan menangis terharu dipelukan bapak. Ia pun demikian. Kami ada dalam hitungan detik. Satu sama lain seolah mengenangkan almarhumah ibu yang 10 tahun lewat meninggalkan kami. Pada hitungan detik kami ada dalam keharuan itu.

Usai itu pun aku mengiringi di belakangnya, kembali melangkah pelan, menjabat tangan jemaah lain hingga selesai. Dan, beriringan keluar dari mesjid menuju rumah. Di sepanjang jalan, di depan rumah yang kami lewati juga saling menjabat tangan, untuk memaafkan.

AH, aku lihat istriku pun tengah menanti di depan rumah, lebih dulu tiba usai saling memaafkan dengan jemaah perempuan lainnya. Senyumnya mengembang tampak dari kejauhan. Aku membalas senyum itu dengan perasaan berkecamuk. Ingin rasanya berlari dan memeluknya. Tapi karena ada bapak di sebelah, aku tahan.

Hingga kemudian aku sudah ada di hadapannya. Seraya menunduk, ia mencium lembut punggung tangan kananku lebih dulu, dan berucap maaf untuk segala khilaf  selama ini. Aku pun demikian, mengecup kening, dan memeluknya erat seraya berbisik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun