Mohon tunggu...
Erson Bani
Erson Bani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis buku "Lara Jasad" (2023) & "Melayat Mimpi" (2023)

Hanya ingin mengabadikan kisah lewat aksara

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Maraknya Kasus Bullying, Tanggung Jawab Sekolah?

2 Mei 2023   15:12 Diperbarui: 6 Mei 2023   11:49 2371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bullying (Sumber: shutterstock)

Salah satu dari 3 dosa dalam dunia pendidikan saat ini adalah bullying. Bullying perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Sekolah sebagai lembaga resmi perlu lebih tegas lagi dalam memberikan efek jera bagi pelaku. Keluarga sebagai tempat pertama pendidikan juga turut bekerja sama untuk mencegah suburnya bullying.

Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak dan Ibu (KPAI) di tahun 2021, ada 53 kasus bullying di lingkungan sekolah, dan 168 kasus perundungan di dunia maya. 

Tahun 2021 sebagian besar proses kegiatan belajar dilakukan melalui online, sehingga kasus bullying di sekolah sangat sedikit. Dan yang meningkat adalah kasus bullying di dunia maya. Hal ini berbeda dengan data tahun 2022 dengan kasus bullying kekerasan fisik dan mental yang terjadi di lingkungan sekolah sebanyak 226 kasus, termasuk 18 kasus bullying di dunia maya. Berdasarkan data dapat disimpulkan bahwa sekolah menjadi tempat paling rawan terjadinya perundungan.

Bullying: Sekolah yang Wajib Bertanggung Jawab?

Salah satu lembaga yang menjadi sasaran terkaitnya buruknya sikap seseorang adalah sekolah. Peran guru dalam mendidik juga mendapat sorotan masyarakat. Sudah menjadi anggapan publik bahwa sekolah wajib bertanggung jawab terhadap berbagai tindakan buruk yang terjadi di masyarakat. Meskipun hadir dengan berbagai alasan apapun, sekolah tetap menjadi target yang disalahkan. Benarkah semuanya ini salah sekolah?

Berhadapan dengan pertanyaan ini, ada dua pihak yang sebaiknya perlu kerja sama untuk meminimalisir kasus ini yakni sekolah dan keluarga. 

Sekolah memiliki kewajiban untuk membina karakter anak. Adanya berbagai mata pelajaran yang diterapkan di sekolah dengan berbagai ketercapaian yang telah ditetapkan diharapkan bisa membentuk karakter siswa. 

Setiap guru mata pelajaran mempunyai tanggung jawab untuk membentuk karakter anak. Yang jadi masalahnya adalah guru merasa bahwa pembentukan karakter anak adalah tugas beberapa guru saja yakni berkaitan dengan pembentukan karakter.

Namun, tugas seperti ini tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab sekolah. Keluarga perlu ikut ambil bagian. Peran keluarga sangat penting dan benar-benar dibutuhkan dalam pembentukan karakter. 

Kasus bullying yang dilakukan anak terhadap temannya, butuhkan pendampingan orang tua. Hal inilah yang membedakan antara kasus bullying yang terjadi di daerah perkotaan dan pedesaan. Perbedaan situasi seperti ini, turut mempengaruhi banyaknya kasus bullying yang dilakukan oleh anak-anak.

Banyaknya interaksi antara anak dan orang tua akan memberikan ruangan bagi anak untuk berbagi kisahnya. Begitupun sebaliknya orang tua bertanya kepada anak tentang apa yang terjadi di sekolah. Dialog bisa terjadi jika ada ruang atau waktu yang cukup untuk bersama. Kesibukan dunia kerja dan kurangnya dialog akan sangat mempengaruhi kepribadian anak.

Rata-rata di daerah perkotaan anak akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman sebaya. Bahkan orang tua akan mempercayakan anaknya kepada orang lain. 

Selain itu, anak diberikan kebebasan yang besar untuk melakukan apapun. Pergaulan yang menggunakan bahasa dan tindakan yang di luar kendali orang tua akan sangat mungkin terjadi.

Sumber gambar: Liputan6.com
Sumber gambar: Liputan6.com

Ada orang tua yang bahkan tidak tahu apa yang terjadi pada anak waktu di sekolah. Orang tua sepenuhnya percaya kepada sekolah untuk bisa membimbing anak menjadi lebih baik. Namun, satu hal yang mungkin kurang disadari oleh orang tua bahwa sekolah hanya memiliki waktu sekurang-kurangnya 7 jam. Anak memiliki banyak waktu di rumah. Semua kegiatan yang terjadi setelah selesai jam sekolah adalah tanggung jawab orang tua.

Hal ini sedikit berbeda kehidupan keluarga di daerah pedesaan. Sangat jarang terdengar kasus pembulian yang terjadi pada anak-anak di daerah pedesaan. Atau mungkin ada yang beranggapan bahwa kasus bullying sering terjadi di daerah pedesaan namun tidak diliput media. 

Ada benarnya juga, asumsi seperti ini, namun berkaca dari kasus bunuh diri atau hilangnya kemauan untuk sekolah yang dilakukan oleh korban, kebanyakan terjadi di daerah perkotaan. Ada beberapa kasus bullying yang berujung pada kematian. Sopan santun dalam berbicara turut menjadi faktor pendukung terjadi dan tidaknya kasus bullying.

Alasan lain mengapa lingkungan di perkotaan sangat mungkin terjadinya bullying adalah kebebasan anak dalam menggunakan media sosial. 

Dalam keluarga, apabila anak jarang berinteraksi dengan orang tua akan lebih memilih untuk berinteraksi dalam dunia maya. 

Kurangnya pengawasan akan sangat mungkin bagi anak untuk mengakses apapun yang ia mau. Salah satunya adalah adanya percakapan yang menjuruskan ke arah pembulian akan dengan mudah diserap oleh anak. Tidak salah apabila anak diberi kebebasan untuk menggunakan gadget. Namun, orang tua perlu mengawasinya apalagi bagi anak yang masih butuh pendampingan.

Sebagai lembaga yang resmi dalam urusan pendidikan, sekolah memang mempunyai tanggung jawab membina karakter siswa. Tidak salah jika sekolah harus menerima berbagai "serangan" tentang masalah pem-bully-an. Namun, perlu diingatkan bahwa orang tua juga turut ambil bagian dalam pembinaan karakter. 

Keseringan interaksi antara orang tua dan anak bukan tidak mungkin akan membuat menimbulkan dialog. Dialog menjadi salah satu cara efektif untuk menghadapi berbagai persoalan yang dialami. Kasus bullying bisa dihadapi jika kerja sama yang terus menerus antara sekolah dan orang tua. 

Jika sekolah terus menekankan pembentukan karakter lalu tidak dilanjutkan di rumah (keluarga) semuanya tidak bisa berjalan dengan baik dan hanya akan menjadi harapan. 

Di balik maraknya akibat dari bullying, menyerahkan tugas pembentukan karakter kepada sekolah bukan hal yang tepat. Keluarga meski menaruh kesadaran bahwa mereka punya tanggung jawab yang sama juga.

Kebiasaan menanamkan nilai-nilai kebaikan seperti saling menghormati kelebihan dan kekurangan orang lain, menanamkan sikap cinta kepada sesama akan membantu setiap anak untuk tidak membully sesamanya. 

Itulah alasan mengapa sekolah bukan satu-satunya lembaga yang memiliki tanggung jawab penuh atas maraknya kasus bullying yang dilakukan oleh anak-anak. Kebiasaan menanamkan nilai-nilai ini sejak kecil, akan membantu anak untuk hormat dan peduli kepada sesama di masa mendatang.

Selain itu, menciptakan suasana rumah yang nyaman untuk anak akan membantu anak untuk berkembang dengan baik dalam pembentukan karakter. Nyaman di sini bukan hanya menyediakan segala sesuatu yang diinginkan oleh anak. Tetapi menciptakan komunikasi dan kedekatan antara orang tua dan anak. 

Keteladanan orang tua dalam bertutur kata di hadapan anak juga memberikan dampak yang penting bagi perkembangan. Anak memiliki kecenderungan untuk meniru (mimesis) apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Itulah alasan rumah menjadi tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi pembentukan karakter anak. 

Kasus bullying terus meningkat. Hal ini menandakan bahwa pendampingan dari orang tua dan juga guru semakin menurun. Pendampingan yang diberikan bukan dengan cara mengekang tetapi memberi teladan dan mengarahkan. Tutur kata dan tindakan mendapat perhatian yang serius agar anak bisa belajar. Belajar bukan hanya tentang pengetahuan (akademik) tetapi juga karakter atau kepribadian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun