Menebarkan narasi ketakutan menjadi kekuatan untuk mempengaruhi mental seseorang. Tersebarnya ketakutan ini tentu beralasan. Misalnya narasi hoax tentang bahaya vaksin covid-19. Cara ini cukup berhasil karena bisa membuat sekelompok orang terpengaruh dan memilih tidak divaksin. Selain itu, perlunya memberikan ketakutan akan bahaya yang akan datang juga disampaikan oleh filsuf Jerman-Amerika berketurunan Yahudi, Hans Jonas.
      Menurutnya, ketakutan menjadi kekuatan untuk menata masa depan. Konsep ketakutan Hans Jonas berkaitan dengan upaya untuk menjaga alam. Salah satu tantangan yang dihadapi dunia adalah upaya untuk menghormati alam. Minimnya kepedulian terhadap alam membuat Paus Fransiskus mengeluarkan dokumen Laudato Si' yang mana salah satunya berbicara tentang kerusakan alam akibat ulah manusia.
      Perhatian kepada lingkungan harus menjadi tanggung jawab bersama. Kepedulian terhadap kehidupan generasi masa depan menjadi salah satu alasannya. Sikap kepedulian dan tanggung jawab juga penting untuk ditanamkan dalam diri manusia. Sebenarnya, bahaya kerusakan lingkungan tidak semata untuk generasi yang akan datang atau efek jangka panjang, tetapi juga untuk manusia saat ini atau efek jangka pendek.
      Berdasarkan laporan Environmental Performance Index 2022 (EPI). Pelestarian lingkungan Indonesia tergolong buruk di skala global, bahkan di skala regional Asia Pasifik. EPI mengukur tingkat keberlanjutan lingkungan negara-negara melalui puluhan indikator yang terangkum dalam tiga pilar besar, yakni, kesehatan lingkungan: kualitas udara, pencemaran air, kualitas pengolahan limbah, dan sebagainya. Iklim: kebijakan mitigasi perubahan iklim, emisi gas rumah kaca, dan sebagainya, dan daya hidup ekosistem: kualitas biodiversitas, keberlanjutan perikanan, pertanian, sumber daya air, dan sebagainya.
      Indonesia mendapat skor 28,2 dari 100. Skor ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-164 dari 180 negara yang diriset. Jika dilihat di skala regional, posisi Indonesia juga masuk ke jajaran bawah. Indonesia berada di peringkat ke-22 dari 25 negara Asia Pasifik, atau peringkat ke-8 dari 10 negara ASEAN. Dalam laporan ini Indonesia mendapat nilai rendah untuk semua indikator, dengan rincian skor daya hidup ekosistem 34,1, skor kesehatan lingkungan 25,3, dan skor kebijakan mitigasi perubahan iklim 23,2 dari 100. Perhatian kepada kesehatan lingkungan hidup boleh dikatakan masih sangat kurang.
      Berhadapan dengan berbagai peristiwa ini apa yang harus dilakukan? Gerakan Greenpeace baik internasional maupun nasional mempunyai tujuan yang sama yakni mengurangi kerusakan lingkungan. Pidato Greta Thurnberg pada sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga tidak lain berbicara tentang efek dari kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pendahulu sehingga memaksanya untuk tidak berada di sekolah dan menghadiri pertemuan ini. KTT G20 lagi-lagi membuka kesempatan untuk berdiskusi tentang masalah ini.
     Masih banyak lagi kelompok-kelompok maupun individu yang punya kepedulian pada peristiwa ini. Kebanyakan gerakan ini beraksi setelah berbagai kasus kerusakan terjadi. Apakah tidak ada langkah preventif berkaitan dengan masalah ini dan bagaimana sikap Gereja ketika berhadapan dengan situasi seperti ini? Untuk membahas mengenai pertanyaan ini, penulis mencoba menawarkan gagasan dari Hans Jonas tentang Etika Tanggung Jawab yang berkaitan dengan heuristika ketakutan dan campur tangan Gereja.
Mengenal Heuristika Ketakutan dalam Pandangan Hans Jonas
    Â
      Hans Jonas lahir di Munchengladbach pada 10 Mei 1903. Ia menyelesaikan filsafat dan teologinya di Freinburg, Berlin di bawah bimbing seorang filsuf terkenal yakni Heidegger dan Rudolf Bultmann pada 1920-an (Ristyantoro: 2005, 36). Ia adalah filsuf Jerman-Amerika yang berketuruna Yahudi. Salah satu pemikirannya yang terkenal adalah ketika berbicara mengenai etika tanggung jawab dalam buku "Das Prinzip Verantwortung, Versuch einer Ethik fur die technologiche Zivilization" (Prinsip Tanggungjawab, Percobaan Sebuah Etika bagi Keberadapan Teknologis) (Suseno: 2006, 185). Baginya perkembangan teknologi sangat mempengaruhi kehidupan manusia di masa depan.
      Ada beberapa hal penting yang menjadi alasan mengapa Hans Jonas berbicara tentang pentingnya etika tanggung jawab berkaitan dengan lingkungan. Pertama, alam adalah makluk hidup yang mudah terluka (Suseno: 2006, 194). Saat ini manusia menjadi sangat sering untuk melukai alam semesta. Ada kepentingan tertentu sehingga manusia begitu cepat untuk melukai alam. Kecenderuangan untuk melukai alam akan membuat alam tidak bisa kembali kepada situasi semula dan lama kelamaan akan habis.
      Kedua, manusia wajib tetap ada (Suseno: 2006: 198). Ada kemungkinan bahwa ketika alam sering dilukai maka akan menimbulkan bahaya kepada manusia. Cara pandang yang jauh ini membuatnya merasa bahwa manusia harus bertanggung jawab terhadap alam sehingga generasi berikutnya (manusia) harus tetap ada dan bahkan ia mengatakan wajib ada. Ketika berbicara tentang etika dan moralitas, kata wajib disini sangat penting mengingat keberadaan manusia pertama ke dunia adalah sebuah pemberian sehingga ia harus bertanggung jawab akan semuanya itu.
      Ketiga, heuristika ketakutan. Heuristika ketakutan menjadi bagian penting dalam pandangan Hans Jonas tentang Etika Tanggungjawab. Apa itu heuristika ketakutan? Heuristika adalah metode untuk menemukan sesuatu. Hereustika ketakutan adalah metode dimana rasa takut akan masa depan akan umat menusia mendorong manusia untuk membangun sikap-sikap etis yang seharusnya (Suseno: 2006:187-188). Ketakutan terhadap situasi yang ada di masa depan memdorong manusia untuk tetap menjaga agar manusia itu tetap ada. Walaupun manusia tidak tahu apa yang terjadi ketika terjadi kerusakan lingkungan yang terus terjadi, sikap ketakutan akan bahaya yang lebih besar harus ada dalam diri manusia. Pengalaman manusia pada saat ini (mengalami bencana) yang tidak lain karena efek kerusakan lingkungan seharusnya memberikan kesadaran bahwa manusia telah merasakan apa yang telah dilkaukan di masa lalu.   Â
       Setelah manusia menyadari akan apa yang terjadi di masa depan maka yang dapat ia lakukan adalah bagaimana cara untuk tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan itu. Inilah yang disebut etika tanggung jawab demi masa depan. Hans Jonas melihat bahwa tanggung jawab demi masa depan tidak bisa didasarkan pada keadilan dan hak generasi mendatang karena keadilan itu tergantung pada hak yang bersangkutan. Yang menjadi dasar sikap tanggung jawab adalah adanya panggilan dari objek yang menggerakan kita untuk bertanggung jawab (Ristyantoro: 2005, 42). Bagaimana hal ini bisa dilaksakan oleh setiap orang? Pendidikan merupakan cara yang tepat untuk bisa menanamkan ketakutan ini.
      Berhadapan dengan ketakutan masa depan ini, Gereja juga merasakan hal yang sama. Gereja merasakan kegelisahan akan hal buruk yang terjadi di masa depan dengan menerbitkan Ensiklik Laudato Si'. Ensiklik ini tidak lain memberikan tanggapan akan berbagai peristiwa atau fenomena yang terjadi didunia saat ini seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Bagaimana cara Gereja menawarkan gagasan berkaitan dengan situasi ini?
      Ada beberapa hal yang ditawarkan Gereja dalam Ensiklik Laudato Si', yakni dialog dengan lingkungan dan politik internasional,  dialog kebijakan baru dan lokal, dialog dan trasparansi dalam pengambilan keputusan, politik dan ekonomi untuk pemenuhan manusia, dan kerja sama agama-agama dan dialog dengan ilmu. Selain dialog yang dilakukan, ada sebuah istilah khas yang sering digunakan adalah pertobatan ekologis. Gema seruan pertobatan ekologis sangat jelas setelah diterbitkannya Ensiklik ini. Tujuan terjadinya pertobatan ekologis tidak lain adalah berkaitan dengan ketakutan yang akan terjadi di masa depan.
      Hal yang penting ketika berbicara tentang pertobatan ekologis adalah bukan hanya berkaitan dengan ide tetapi dari motivasi yang lahir dari spiritualitas untuk menumbuhkan semangat pelestarian dunia (Paus Fransiskus: 2015, art.116). Pertobatan ekologis adalah panggilan untuk pertobatan batin yang mendalam untuk melestarikan karya Allah. Hal ini mengingat bahwa manusia telah merusak karya ciptaan Allah untuk kepuasan duniawinya sehingga ia perlu melakukan rekonsiliasi. Melalui pertobatan ini membawa manusia pada kesadaran bahwa setiap makluk ada cermin karya dari Allah yang membawa pesan untuk ditelaah oleh manusia. Kesadaran ini dapat membangkitkan persaudaraan mulia dengan seluruh ciptaan seperti yang telah dihayati oleh Fransiskus Asisi (Paus Fransiskus: 2015: art.221). Inilah isi dari pertobatan ekologis yang ditawarkan oleh Paus Fransiskus dalam Laudato Si'.
Penutup
      Kepedulian terhadap alam adalah tanggung jawab bersama. Saat ini banyak bencana yang tidak lain disebabkan oleh kerusakan lingkungan. Berhadapan dengan situasi ini, manusia perlu menanamkan heuristika ketakutan dan juga pertobatan ekologis. Heuristika ketakutan bisa membuat menusia menyadari akan bahaya yang akan muncul di masa depan akibat kerusakan yang dilakukan saat ini. Setiap orang bertanggung jawa untuk melakukan ini. Selain hereustika ketakutan, Gereja juga melalui Ensiklik Laudato Si' menawarkan pertobatan ekologis. Tujuan pertobatan ekologis adalah membangkitkan persaudaraan mulia dengan seluruh ciptaan yang adalah karya Allah sendiri.
Daftar referensi
Suseno. Frans Magnis., Etika Abad Kedua Puluh, Kanisius: Yogyakarta, 2006
Fransiskus, Laudato Si' (24 Mei 2015) (ter. Martin Harun OFM), Jakatra: Obor, 2015
Rodemus Ristyantoro, "Etika Masa Depan: Hans Jonas", Respons 02 (2005) 36-47
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/07/25/pelestarian-lingkungan-indonesia-tergolong-buruk-di-asia-pasifik diakses pada 11 November 2022
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI