Mohon tunggu...
Erson Bani
Erson Bani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis buku "Lara Jasad" (2023) & "Melayat Mimpi" (2023)

Hanya ingin mengabadikan kisah lewat aksara

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Penghapusan Tenaga Honorer, Solusi atau Masalah?

25 Januari 2022   20:19 Diperbarui: 26 Januari 2022   07:40 1640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Karena seperti itu, bu. Kita kurang efektif tidak seperti di sekolah. Di sekolah kita dipantau langsung sama guru. Guru itu kan digugu dan ditiru. Dan ada wacana saya lihat di berita, saya gak tahu ini benar apa enggak, bahwa PJJ ini akan dilaksanakan dengan permanen. Sedangkan kalau kita belajar cuma mau pintar, google juga lebih pintar daripada sekolah", ungkap siswa tersebut.

 Walaupun pembelajaran online dinilai kurang efektif, ada berbagai kebaruan yang ditawarkan kepada dunia pendidikan. Namun, lagi-lagi harus diakui, tidak semua wilayah di Indonesia mendapatkan kebaruan dalam belajar online. Susah? Iya. Tidak heran jika daerah tertinggal akan tetap pada tempatnya. Internet menjadi salah satu faktor yang membuat penerapan belajar online kurang dirasakan para pelajar di daerah terpencil selama masa pandemi.

Kerinduan pelajar untuk sekolah tatap muka akhirnya bisa terpenuhi setelah adanya penurunan penyebaran virus. Walaupun dilakukan secara berkala, setidaknya bisa menciptakan situasi pendidikan seperti tahun-tahun sebelumnya. 

Pada awal tahun 2022 beberapa sekolah akhirnya melakukan pembelajaran tatap muka 100 persen. Namun, berdasarkan berita dari Tempo.co pada 18 Januari 2022 dikatakan bahwa sebanyak 39 sekolah di Jakarta harus ditutup karena kasus virus covid-19 dan suspek omicron.

Selain masalah penyebaran virus yang belum berakhir di awal tahun 2022, proses pendidikan di kampus juga turut mendapat perhatian yang serius. 

Beberapa hari terakhir opini Kompas menyinggung mengenai kehidupan kampus. Di antaranya, "Menakar Guru Besar Kita", "Masih Bergunakah Sekolah Kita", "Kemunafikan dan Prostitusi Akademik", dan "Pendidikan Tinggi dan Ketimpangan". 

Beberapa opini ini mewarnai dinamika (yang dalam bahasanya Zuly Qodir dalam "Kemunafikan dan Prostitusi Akademik" perburuan gelar. Baik perguruan tinggi maupun sekolah dasar hingga menengah saat ini sama-sama berada dalam situasi yang baik-baik saja.

Pergantian kurikulum dari K-13 ke kurikulum prototipe dan masalah penghapusan tenaga honorer turut mewarnai dinamika pendidikan sekolah dasar dan menengah. Penerapan kurikulum yang baru ini tentu butuh waktu lama untuk bisa benar-benar diterapkan. 

Menurut Anindito Aditomo, Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek bahwa penerapan kurikulum ini berdasarkan pendaftaran, kesiapan sekolah, dan diterapkan secara penuh maupun parsial. 

"Siapa yang mendaftar akan memperoleh kesempatan untuk menerapkannya. Tidak ada seleksi, sebab jika ada seleksi maka ada yang diterima dan ditolak," ungkapnya.

Terciptanya sistem pendidikan yang lebih baik adalah harapan setiap pergantian kurikulum. Ini bukan berarti bahwa kurikulum bisa diubah begitu saja tetapi perlu adanya pertimbangan jangka panjang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun