"Masih Bergunakah Sekolah Kita?" Inilah judul opini dalam harian Kompas yang dituliskan oleh Sidharta Susila pada 19 Januari 2022. Entah kebetulan atau tidak, ide yang disampaikan oleh penulis ini erat kaitannya dengan opini yang disampaikan oleh Zuly Qodir tentang "Kemunafikan dan Prostitusi Akademik" sehari sebelumnya. Dua ide yang menampilkan situasi dunia pendidikan Indonesia saat ini.
Dalam opininya, Sidharta Susila secara tidak langsung mengusulkan agar diterapkanya sistem pendidikan yang bersifat kontekstual. Masalah yang coba untuk ditampilkan adalah adanya ketakutan terhadap ketidakmampuan manusia untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Perkembangan teknologi bisa saja menggeser pekerjaan manusia.
Selain itu, ia juga memberikan kritikan akan adanya sikap arogan dan ambisi untuk mengejar misi pribadi yang dimiliki oleh guru dan dosen terlebih lagi para pejabat pendidikan sekolah dan negara. Hasil dari sikap arogansi seperti ini adalah terciptanya lulusan yang berkarakter bebek. Penggunaan istilah bebek untuk mendefenisikan kemampuan seseorang tentu tidak asing lagi.
Bebek merupakan hewan yang serba bisa tetapi tidak benar-benar bisa. Ia bisa terbang tetapi sayapnya tidak setangguh elang. Berlari juga bisa tetapi tidak secepat dan sekuat anjing atau ayam. Berenang juga bisa tetapi tidak seperti hewan air lainnya. Hal ini tentu berbeda dengan cara pendidikan yang diungkapkan oleh Nel Noddings, filsuf pendidikan Amerika. Ia menyarankan agar seorang pengajar harus menjadi generalis terdahulu dan spesialis ada di posisi kedua. Mungkin lulusan seperti bebek yang dimaksudkan penulis adalah yang hanya tahu setengah saja atau tidak benar-benar tahu dan mendalami apa yang dipelajari.
Kembali lagi kepada kritikan terhadap sikap arogan untuk mengejar misi pribadi yang dilakukan oleh guru, dosen atau pejabat pendidikan, entah sengaja atau tidak, kritikan yang kedua ini erat kaitannya dengan pendapat yang disampaikan oleh Zuly Qodir ketika berbicara tentang kemunafikan dan prostitusi akademik.
Zuly Qodir melihat bahwa zaman ini sangat mudah menemukan akademisi dan yang rakus akan jabatan baik dalam politik dan posisi strategis di pemerintahan maupun di kampus dengan menindas teman sejawatnya. Persaingan yang terjadi di kampus berkaitan dengan penerbitan artikel pada jurnal bereputasi internasional sehingga bisa mendapatkan gelar.
Apa yang dilakukan sejatinya tidak salah jika ia tidak hanya berfokus untuk mengejar prestasi dalam bidang akademik. Sebagai seorang akademisi, prestasi dalam menerbitkan jurnal apalagi dalam level internasional tentu menjadi sebuah kebanggaan dan bukan kesalahan. Apalagi yang dapat dibanggakan dari seorang akademisi jika usaha untuk menerbitkan jurnal berada dalam jalur yang salah.
Kesalahan terjadi ketika para akademisi kurang memberikan kontribusi dalam masyarakat dengan memperhatikan penderitaan rakyat kecil. Aspek pengabdian sosial dari para akademisi dipertanyakan. Selain itu, kesalahan yang dikrtik oleh Zuly Qodir adalah adanya 'pembegalan' yang dilakukan oleh para akademisi kepada koleganya yang memperjuangkan kredibilitas sebagai pendidik.
Mengikuti bahasa yang digunakan Julian Benda, para akademisi (cendekiawan priayi) yang tidak menaruh perhatian kepada kemanusiaan atau perang melawan kejahatan. Mereka lebih senang memperjuangkan posisi untuk dirinya sendiri dan menindas sesamanya. Mereka selalu benar dan orang lain salah.
Melihat adanya ketidakberesan yang terjadi dalam dunia pendidikan, sekolah (pendidik dan pejabat pendidikan) perlu untuk melihat kembali tujuan sekolah. Apakah karena adanya kewajiban penyeragaman sistem pendidikan? Atau karena ada beberapa orang yang mencoba menggunakan lembaga pendidikan sebagai sarana untuk pemenuhan hasrat pribadi (pemburu gelar) dan melupakan tujuan sekolah. Jika tujuan belajar untuk hidup bukan untuk sekolah, kehidupan seperti apa yang akan diterima oleh seorang peserta didik dari dunia pendidikan dari oknum seperti ini?