Mohon tunggu...
Erse Luys Julye Mutiara Putri
Erse Luys Julye Mutiara Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa Ekonomi Pembangunan hobi saya membaca dan olahraga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengungkap Realita: Narasi Seksisme Pada Perempuan

8 Juni 2024   14:47 Diperbarui: 8 Juni 2024   15:02 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Mbak Nana pake bajunya putih-putih kayak kasur saya, jadi pengen saya tidurin."

Ucap seorang komika Felix Seda kepada Najwa Shihab saat sedang menjadi pemateri dalam StandUp Comedy pada acara Desak Anies Yogyakarta tepatnya 23 Januari 2024 lalu. Ungkapan yang dimaksudkan sebagai guyonan oleh komika Felix Seda tersebut termasuk dalam narasi seksisme. Lalu apa aitu seksisme?

Seksisme adalah sikap, kepercayaan, perilaku individu, dan praktik organisasi, kelembagaan, dan budaya yang mencerminkan evaluasi negative individu berdasarkan jenis kelamin atau mendukung status perempuan dan laki-laki tidak setara. Seksisme dapat diartikan sebagai suatu prasangka dan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin tertentu. Seksisme bisa terlihat dari berbagai aspek yang mempengaruhi kebiasaan dan tradisi kita, salah satunya adalah melalui bahasa dan perkataan.

Seksisme dapat terjadi pada perempuan maupun laki-laki, namun perempuan seringkali lebih rentan menjadi korban dalam sosial masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan, terutama, seringkali mendapat narasi seksisme baik di lingkungan publik maupun lingkungan pribadi. Narasi seksisme sering kali dinormalisasi bahkan tidak dihiraukan lantaran hanya dianggap sebagai bahan candaan serta melanggengkan kurangnya sensitifitas yang merendahkan perempuan. Laki-laki melanggengkan budaya narasi seksisme terhadap perempuan baik di media sosial maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Narasi seksisme sering kali tanpa disadari telah menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari. Masyarakat Indonesia terbiasa menormalisasi sikap diskriminatif terhadap gender melalui tindakan-tindakan sederhana. Meskipun terdengar sepele, perkataan tersebut dapat memberikan dampak signifikan terhadap kondisi mental dan psikologis perempuan. Karena terlalu dinormalisasi, narasi seksisme bisa ditemukan dalam berbagi bentuk, seperti pada media sosial Instagram, TikTok, maupun Facebook, media penyiaran, bahkan baru-baru ini terdapat kaos bertuliskan narasi seksisme dan misoginis yang dijual di e-commerce dan telah terjual ribuan kali.

Narasi seksisme dapat muncul dalam berbagai bentuk dan konteks, diantaranya adalah stereotip gender yang merupakan jenis ujaran seksisme yang menggeneralisi karakteristik atau perilaku tertentu kepada seluruh anggota satu jenis kelamin. Misalnya, anggapan "Ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi, nanti juga ujung-ujungnya di dapur." Ada pula narasi seksisme dalam komunikasi non-verbal, di mana ekspresi wajah, gerakan tubuh, atau sikap non-verbal juga dapat mengandung pesan seksis. Contohnya, menertawakan pendapat seorang perempuan dalam sebuah diskusi adalah salah satu bentuk komunikasi non-verbal yang merendahkan. Ujaran seksisme juga kerap kali disampaikan dalam bentuk lelucon yaitu lelucon atau candaan yang cenderung merendahkan perempuan atau memperkuat stereotip gender negatif. Lelucon tersebut tentu saja tidak bisa dikatakan sebagai candaan yang lucu dikarenakan menyebarkan pesan yang merugikan perempuan. Hal yang biasa ditemui di lingkungan Masyarakat adalah mengatakan bahwa perempuan hanya layak dijadikan sebagai objek seksual, ini juga merupakan komentar merendahkan yang termasuk dalam narasi seksisme. Bentuk narasi seksisme yang lebih ekstrem adalah pelecehan seksual verbal, di mana perempuan diserang dengan komentar atau lelucon yang bersifat seksual atau mengintimidasi. Ini termasuk perkataan cabul, pemakaian bahasa kasar yang merendahkan, atau komentar yang tidak pantas tentang penampilan fisik.

Dari banyaknya narasi seksisme yang diterima perempuan, pertanyaannya, bagaimana narasi seksisme tumbuh dan dinormalisasikan di masyarakat? Narasi seksisme dapat terjadi karena kebiasaan dan norma sosial serta budaya seperti budaya patriarki yakni budaya di mana laki-laki merasa mempunyai kedudukan lebih tinggi dibanding perempuan. Keyakinan bahwa laki-laki memiliki kuasa yang lebih daripada perempuan membuat seakan laki-laki dapat melontarkan narasi seksisme tersebut untuk melanggengkan dominasinya dan melahirkan ketidaksetaraan gender. Hal ini juga muncul dikarenakan struktur kekuasaan yang masih didominasi oleh laki-laki, seperti sektor politik, ekonomi, dan sosial, sementara perempuan sering kali dianggap lebih rendah dibanding laki-laki. Ketidakseimbangan kekuasaan ini menciptakan lingkungan di mana ujaran seksisme dan perlakukan tidak adil terhadap perempuan dapat menjadi norma yang diterima.

Narasi seksisme pada memiliki dampak yang merugikan kaum perempuan. Hal ini bisa membuat perempuan mengalami diskriminasi sosial yang dapat berdampak pada kondisi psikologis korban. Menurut penelitian yang dilakukan oleh University College London (UCL) di Inggris, menyatakan bahwa perempuan yang mengalami diskriminasi gender memiliki risiko tiga kali lipat lebih tinggi untuk terkena depresi. Menurut Dr. Ruth Hackett, narasi seksisme ini dapat menurunkan kepercayaan diri dan banyak dari mereka yang merasa khawatir di berbagai aspek kehidupannya, seperti dalam karier, percintaan, bahkan penampilan. Narasi dan candaan seksisme yang dinormalisasi juga dapat memicu pelecehan dan kekerasan seksual. Hal ini disebabkan oleh normalisasi dan penerimaan budaya yang merendahkan perempuan dan memandang mereka sebagai objek, bukan sebagai individu dengan hak dan martabat yang sama. Ini terjadi karena kurangnya pemahaman dan kurangnya sensitifitas masyarakat terhadap isu yang kerap kali dialami oleh perempuan. Ketika komentar dan sikap seksis dinormalisasi, akan menciptakan lingkungan di mana pelecehan seksual dapat dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan bukan sebagai pelanggaran serius. Pelaku bisa saja menggunakan stereotip gender untuk menyalahkan korban atau meminimalkan keseriusan tindakan mereka. Hal ini menciptakan lingkungan di mana pelecehan dan kekerasan seksual tidak dianggap sebagai masalah serius yang perlu ditangani.

Sebagai kesimpulan, narasi seksisme terhadap perempuan telah menjadi bagian yang mengakar dalam Masyarakat Indonesia, sering kali dinormalisasi melalui humor dan kebiasaan sehari-hari. Narasi seksisme merupakan akibat dari ketidaksetaraan gender dan berdampak negatif pada kondisi psikologis serta sosial perempuan. Tidak hanya merendahkan martabat perempuan, narasi seksisme juga mengakibatkan dinormalisasikannya pelecehan dan kekerasan seksual. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan peningkatan kesadaran dan sensitiftas masyarakat terhadap isu seksisme dan diskriminasi gender.

Referensi

Ismiati. (2018). PENGARUH STEOROTYPE GENDER TERHADAP KONSEP DIRI PEREMPUAN. TAKAMMUL: Jurnal Studi Gender dan Islam Serta Perlindungan Anak, 7(1), 33-45.

Israpil. (2017). Budaya Patriarki dan Kekerasan Terhadap Perempuan (Sejarah dan Perkembangannya). Jurnal Khazanah Keagamaan.

Jannah, P. M. (2021). Pelecehan Seksual, Seksisme Dan Pendekatan Bystander. Psikobuletin: Buletin Ilmiah Psikologi, 2(1), 61-70.

Lubis, F. (2021). Seksisme dan Misogini dalam Perspektif HAM. KOMNAS HAM REPUBLIK INDONESIA.

Putri, F. N., & Pramiyanti, A. (2021). Persepsi Perempuan dalam Menerima Komentar Seksis di Instagram. e-Proceeding of Management, 8(5), 7246-7251.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun