" Kalau Jaro buru-buru harus ke ladang, bagaimana kalau kita ngopi aja. Kan gak makan waktu lama kalo ngopi-ngopi saja." Kata saya kemudian.
Jaro Sami tetap menolak. Sambil meminta maaf berulang dia nyatakan harus segera mengurus ladangnya karena dalam perhitungannya dia sudah kesiangan.
Sambil tersenyum walaupun memendam rasa kecewa saya membiarkan Jaro Sami melangkah pergi. Entah mengapa saya tak beranjak dari tempat saya berdiri. Mata saya lekat memandangi punggung kokoh sang kepala desa yang melangkah menjauh. Sepasang kaki kokoh yang tak pernah mengenal alas kaki itu mengayun begitu mantap.
Namun setelah beberapa langkah tiba-tiba langkahnya terhenti. Jaro Sami membalikkan badannya ke arah saya lalu bertanya .
"Bapak kesini ( Cibeo ) sama siapa ?"
"Sama anak saya." Jawab saya sambil penasaran kenapa beliau menanyakan itu.
"Sama Zahra ?'' Tanyanya lagi dengan raut wajah yang berbinar.
Senyum lebar langsung terkembang saat saya mengatakan saya datang bersama Zahra. Kemudian beliau melangkah menutup jarak yang ada diantara kami.
"Kalau begitu ayo kita sarapan bersama. Sekalian saya mau ketemu Zahra. Sudah sebesar apa dia sekarang?"
Saya hampir tak percaya dengan apa yang saya dengar. Tentu saya senang karena Jaro Sami akhirnya mau sarapan Bersama dengan saya. Tapi yang lebih mengherankan saya adalah belaiu masih ingat nama anak saya, Zahra.
Sepuluh tahun waktu telah berlalu. Entah sudah berapa puluh purnama terlewat. Diantara sekian ratus mungkin ribuan tamu yang datang ke Cibeo. Belum lagi usia Jaro Sami yang sudah lebih dari setengah abad, beliau masih menyimpan memori akan seorang anak yang pernah datang ke Cibeo meski hanya satu kali.