Dari kejauhan desa Cibeo sudah mulai terlihat. Sebuah jembatan bambu berdiri diatas sebuah sungai yang merintangi jalan menuju desa.
Waktu belum lagi sore saat kami tiba di Cibeo. Perjalanan yang kami mulai selepas makan siang di desa Cijahe berjalan lancar dan mengasyikkan. Rekan saya, Yoyok membawa seekor anak kucing yang dia gendong di tas ranselnya.
Anak kucing yang lucu itu dia bawa dari sebuah tempat makan di pinggir jalan. Sendirian tanpa ada saudara dan induknya membuat Yoyok iba dan memutuskan untuk membawanya pulang.
Khawatir si anabul tidak terjamin makan minumnya, Yoyok memutuskan untuk membawanya ke Baduy. Si Oyen, begitu Yoyok menamainya karena bulunya berwarna orange, begitu lucu dan menggemaskan. Selama perjalanan baik di mobil atau selama berjalan kaki dia begitu tenang tidak merepotkan.
Kali ini perjalanan saya ke Baduy Dalam untuk mengantar seorang teman yang berprofesi sebagai dokter umum.
Beberapa waktu sebelumnya sang dokter menyampaikan keinginannya pada saya untuk menyambangi Baduy Dalam. Dengan senang hati saya menyanggupi dengan syarat beliau mau mengobati salah satu warga desa Cibeo yang sakit.
Sebelumnya saya mendapat kabar seorang kenalan saya di Cibeo sakit. Sebuah kesempatan emas bila ada dokter yang berkunjung bisa sekalian mengobati kenalan saya itu. Gayung bersambut, dr Riza tidak keberatan, maka berangkatlah kami.
Kami masuk lewat jalur Cijahe karena jarak dan waktu tempuhnya lebih bersahabat dibanding jalur Ciboleger. Bila lewat jalur Ciboleger memakan waktu 3-4 jam berjalan kaki, maka lewat jalur Cijahe hanya 1-1,5 jam saja.
Di Cibeo kami menginap di rumah Kang Jakri. Setelah sebelumnya kami mendapat tawaran menginap di rumah teman-teman saya yang lain. Namun saya memutuskan untuk menginap di rumah Kang Jakri karena posisi rumahnya yang paling dekat dengan sungai.
Sungai bisa kita anggap sebagai kamar mandi atau toilet. Agar tidak merepotkan dalam urusan buang air kecil dan urusan lainnya maka jarak ke sungai jangan terlalu jauh.