Mohon tunggu...
Erry M Subhan
Erry M Subhan Mohon Tunggu... Lainnya - Fotografer/Videografer Freelance, Kontributor untuk beberapa agensi Photo Stock

Suka jalan-jalan menyambangi daerah-daerah dan bertemu dengan masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebuah Toleransi Ala Baduy Dalam

25 Desember 2024   20:25 Diperbarui: 25 Desember 2024   20:25 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ini adalah sekelumit kisah yang penulis alami dalam sebuah kunjungan ke Baduy Dalam pada tahun 2008 silam. Sebuah kisah yang begitu berkesan bagi penulis , hingga seringkali kisah ini penulis diceritakan pada teman, kenalan atau saudara. Karena kisah ini dirasa begitu menginspirasi dan bisa menjadi teladan bagi kita semua.

Disini penulis hendak bercerita tentang sebuah kisah yang dijiwai oleh sebuah rasa bernama toleransi. Sebagai mahluk sosial manusia perlu mengedepankan sikap toleransi agar dapat hidup berdampingan dengan damai dan saling mengharagi bersama orang lain yang agama dan keyakinannya berbeda.

Sejak tahun 2002 penulis berhubungan akrab dengan saudara-saudara kita orang Baduy Dalam yang dikenal juga dengan sebutan Urang Kanekes.Kemampuan penulis berbahasa Sunda ala Banten sepertinya membuat penulis bisa cepat akrab dengan masyarakat Baduy. Terutama masyarakat Baduy Dalam. Rumah penulis sering kedatangan orang-orang Baduy Dalam untuk sekedar singgah atau menumpang tidur. Hingga suatu hari penulis kedatangan seorang yang penulis kenal cukup dekat. Anas, begitu biasanya dia dipanggil. Kedatangan Anas kali ini agak special karena maksud kedatangannya adalah mengundang penulis untuk hadir di acara pernikahan anaknya. Sesuai adat istiadatnya sudah tentu Ayah Nani datang dengan berjalan kaki. Menempuh ratusan kilometer dengan kaki telanjang.

Anas menyatakan pernikahan akan dilaksanakan di Cibeo, desa tempat dia dan keluarganya tinggal beserta masyarakat Baduy Dalam lainnya. Cibeo adalah satu dari tiga desa tempat berdomisili Suku Baduy Dalam. Dua desa lainnya adalah desa Cikertawarna dan desa Cikeusik. Desa-desa lain yang masih masuk dalam wilayah ulayat Baduy adalah desa-desa yang didiami orang Baduy Luar. Kurang lebih ada 50 desa yang secara geografis masuk dalam administrasi Kecamatan Lebak, Banten.

Kita pasti akan langsung memahami betapa menantangnya perjalanan ke sebuah tempat yang ratusan tahun tidak terjamah kemajuan teknologi. Maka saat penulis mendapat undangan untuk hadir ke acara sebuah pernikahan di Cibeo, penulis merasa akan mengalami pengalaman yang luar biasa. Tentunya kita penasaran bagaimana jalannya ritual acara pernikahan dalam bungkusan budaya yang dipegang teguh selama ratusan tahun.

Singkat cerita penulis sudah tiba sore hari di desa Cibeo , satu hari menjelang hari pernikahan. Penulis menginap di rumah Ayah Sanip , seorang kenalan lama penuis yang lain, yang hanya berjarak beberapa meter saja dari rumah Ayah Nani. Rumah Ayah Nani saat itu ramai dan sibuk dengan persiapan. Khawatir penulis tidak bisa istirahat, Ayah Nani menitipkan penulis agar bisa beristirahat di rumahnya.

Sore hari selepas bersih-bersih dan mandi, penulis duduk bercengkerama dengan beberapa warga Baduy Dalam. Saat penulis bertandang ke Baduy, biasanya kenalan-kenalan penulis akan datang dan berkumpul dirumah yang penulis singgahi. Momen seperti itu adalah momen yang sangat berharga. Dalam kesempatan itu kami akan saling bertukar informasi, baik hal-hal ringan maupun yang serius. Ditengah perbincangan Ayah Sanip menanyakan pada penulis perihal menu untuk makan malam. Ayah Sanip menyatakan bila penulis mau makan malam dengan menu ayam goreng maka ayamnya sudah dipersiapkan, sembari menunjuk dengan ibu jari ke arah dinding rumahnya yang terbuat dari anyaman bambu. Penulis agak terkesiap karena ayam yang katanya akan jadi suguhan nanti dalam keadaan terbungkus anyaman daun kelapa dan masih hidup.

Selang beberapa detik kemudian penulis sadar akan suatu hal yang terkesan remeh tapi sangat penting. Penulis sangat bersyukur pemilik hajat memperhatikan detail soal menyembelih hewan. Dengan kondisi ayam masih hidup artinya kita dipersilakan untuk menyembelih ayam tersebut sesuai dengan tuntunan agama kita masing-masing. Karena bila mengikuti cara orang Baduy Dalam menyembelih ayam jelas tidak sesuai dengan tuntunan agama Islam. Orang Baduy sendiri memilih Sunda Wiwitan sebagai keyakinan mereka.

Sepanjang yang penulis pahami tentang adat budaya disana, orang Baduy sangat anti ada darah tercecer akibat kekerasan. Akibatnya saat hendak mengkonsumsi ayam maka cara mematikannya tidak dengan disembelih, melainkan dengan cara dipelintir kepalanya. Dalam pandangan hukum Islam sudah jelas hal itu dihukumi haram.

Memahami hal tersebut saudara-saudara kita di Baduy biasanya akan mempersilakan kita untuk menyembelih ayam sesuai tuntunan agama Islam.Agar kita terhindar dari makanan haram.Awalnya nampak seperti nyeleneh dan tidak sopan dengan menyuguhkan ayam dalam keadaan hidup, tapi segera setelah kita memahami maka kita akan melihat bagaimana besarnya rasa hormat mereka pada tamu.

Menyadari hari sudah mulai beranjak menuju malam, penulis mengajak Ayah Sanip untuk menyembelih ayam yang sudah dipersiapkan itu. Dengan sigap Ayah Sanip mengambil pisau kecil yang terselip di dinding, mengambil ayam yang tergantung, pamit pada orang-orang yang masih bercengkerama, kemudian melangkah keluar. Kaki-kakinya yang kokoh melangkah dengan mantap ke arah keluar kampung. Kami menyeberangi jembatan dan melangkah menuju rimbunnya tepi hutan dimana di sana ada aliran air yang kecil. Di atas aliran selokan kecil itulah Ayah Sanip menyiapkan ayam untuk segera disembelih. Setelah membaca doa penulis menyembelih ayam tersebut dibantu Ayah Sanip yang memegangi. Darah ayam mengucur ke air di selokan hingga hilang terbawa arus. Bilamana tidak menyembelih diatas aliran air maka pilihannya adalah menyembelih diatas tanah dengan terlebih dulu dibuatkan lubang untuk mengubur darah ayam.

Selepas membersihkan ayam di sungai kami berdua kembali kerumah. Ayah Sanip menyerahkan ayam pada istrinya agar bisa segera diolah untuk makan malam. Malam itu penulis bersantap malam dengan menu ayam goreng. Karena terlarang bagi masyarakat Baduy  memakan ayam yang disembelih, maka penulis sendirian menghabiskan ayam goreng yang mantap rasanya itu.

Kisah toleransi di bumi Urang Kanekes bukan itu saja. Selama penulis berkunjung ke Baduy, penulis tidak pernah kesulitan untuk melaksanan sholat wajib. Siapapun yang rumahnya penulis tempati tidak ada yang keberatan bilamana penulis melaksanakan kewajiban sebagai muslim. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun