"Peringatan. Sekolah ini akan saya bakar dua hari lagi!"
Tangan Grasea gemetar. Dingin. Agak basah. Selang dua menit, dia memberanikan diri memberitahu teman-temannya tentang surat yang dipegangnya.
"Ada surat. Ada surat, teman-teman. Seram. Mau bakar sekolah katanya," teriak Grasea. Suaranya bergetar. Lima temannya yang sedang piket menoleh, spontan, lalu berlari menghampiri gadis cilik kelas lima sekolah dasar itu. Sapu, lap, kemoceng, mereka lepaskan. Mereka menyerbu Grasea. Berebut menjadi yang terdekat untuk bisa melihat langsung sehelai kertas putih bergaris dengan tulisan tangan itu.
"Kamu menemukan ini di mana?" tanya Anet.
"Di situ. Di kolong meja itu," jawab Grasea menunjuk meja pada deretan nomor dua dari belakang di barisan dekat jendela.
Tak lama kemudian mereka sudah berada di ruang kepala sekolah.
***
Grasea dan kelima temannya piket kebersihan hari itu. Pagi, mereka tiba lebih awal untuk memastikan ruang belajar rapi dan bersih. Sebelum pulang, mereka piket lagi. Â Membersihkan laci dan kolong meja dari sampah dan mengangkat kursi ke atasnya. Menyapu, mengepel, menyeka debu, melipat taplak meja dan menyimpannya dalam lemari wali kelas berikut vas bunga.
Anak-anak itu membagi tugas bergantian, siapa membersihkan apa. Hari itu, Selasa, Grasea membersihkan meja dan mengangkat kursi.
***
"Pagi, Mem," sapa Bu Elly di gerbang sekolah kepada guru Bahasa Inggris. Lengkapnya, "Ma'am Lia". Kata "Ma'am" berasal dari "Madam" yang berarti ibu, perempuan yang telah menikah atau yang patut dihormati. Namun, para guru dan orangtua murid terbiasa memanggil atau menuliskan namanya sebagai "Mem Lia".
Mem Lia meminta dirinya dipanggil "Ma'am" untuk memperkenalkan dan membiasakan sebutan itu di sekolah. Jadi, tidak hanya "Miss" seperti selama ini.Â
"Selamat pagi."
"Mem, jangan lupa nanti kita rapat. Anak-anak pulang cepat," kata guru Budi Pekerti itu.
"Siap."
Pagi itu, para murid dipersilakan pulang lebih awal, tepatnya setelah jam istirahat kedua. Guru-guru akan menggelar pertemuan terkait surat kaleng temuan Grasea.
Disebut surat kaleng, karena nama penulis dianggap meragukan. Tertulis "Mem Lia" dan ditujukan kepada "Bu Elly". Setelah dipelajari, semua guru yakin, surat itu surat kaleng, karena tidak mungkin Mem Lia melakukan hal seperti itu.
Ibu dua anak ini figur yang tenang dan ramah. Anak-anak suka berada di dekatnya karena sikapnya selalu hangat. Para orangtua juga menyukai Mem Lia lantaran rajin memotivasi siswa untuk urusan menghormati orangtua, berdisiplin, tekun, bercita-cita tinggi, toleransi antarteman, dan sebagainya.
Tentu saja Bu Masri, kepala sekolah, kaget saat mendengar temuan itu. Kemarin dia langsung menjadikannya agenda utama rapat rutin guru sepulang sekolah.
"Bukan saya," kata Mem Lia sembari tersenyum.
Tetapi, mengapa pula memakai nama Mem Lia? Mengapa ditujukan kepada Bu Elly? Guru-guru tak habis pikir, selain masih khawatir mengingat teror itu.
Mem Lia dan Bu Elly bersahabat. Bertahun-tahun mereka mengajar di sekolah negeri itu, tidak pernah satu kalipun terdengar mereka berkonflik. Sebagai guru, mereka tentu paham empat kompetensi yang harus melekat pada diri mereka, yakni kompetensi kepribadian, sosial, pedagogik, dan profesional.
Apakah diam-diam mereka berselisih? Ada yang sempat berpikiran begitu, meskipun kemudian ditepiskan.
Grasea dan kelima temannya ikut berada di ruang rapat. Mereka menceritakan kembali bagaimana surat kaleng itu ditemukan.
Mem Lia menuliskan nota kecil dari tempat duduknya. Lewat guru-guru yang duduk di sebelahnya, surat itu sampai ke tangan kepala sekolah. Bu Masri mengangguk usai membacanya. Tak lama kemudian anak-anak dipersilakan pulang, kecuali Grasea. Rapat guru pun selekasnya berakhir.
***
Mem Lia dan Grasea selesai berdoa.
"Sudah makan, sayang?"
"Sudah, Mem," jawab Grasea dari seberang meja.
Di ruangan itu cuma ada mereka berdua. Mem Lia ingin menggali lebih banyak informasi di balik surat tak beramplop itu. Selagi rapat tadi, Mem Lia diam-diam membuka buku tugas Grasea dan kelima temannya, kemudian membandingkan tulisan mereka satu persatu dengan huruf-huruf pada surat itu.
Bu Masri sudah menelepon orangtua Grasea dan memberitahukan bahwa putrinya pulang terlambat karena ada yang harus dikerjakan di sekolah.Â
"Grasea akan diantar pulang nanti," janji Bu Masri.
"Grasea, bisa ceritakan lagi, bagaimana ananda menemukan surat ini," tutur Mem Lia lembut. Matanya mengamati semua gerakan Grasea, juga ekspresi anak bungsu dari seorang pendeta itu. Abang Grasea baru dua tahun lulus dari sekolah itu. Tidak cerdas. Agak malas. Beberapa kali terlibat perkelahian karena sikapnya yang keras.
"Grasea sayang, ananda percaya Tuhan Mahatahu? Tidak ada yang tersembunyi yang tidak diketahuiNya," ujar Mem Lia usai Grasea bercerita.
Grasea mengangguk. Dia meremas-remas tangan. Matanya tidak berani lagi menatap Mem Lia.
"Sekalipun Mem tidak tahu, Tuhan pasti tahu. Tidak ada yang tersembunyi di hadapanNya. Kita berbicara sekarang, pun Tuhan ada di tengah kita. Dia mendengarkan setiap ucapan kita. Semua isi pikiran dan hati kita."
Mem Lia dengan lembut berupaya mengembalikan Grasea pada sikap jujurnya. Pada rasa percaya dan tenangnya untuk mengakui dirinya adalah penulis surat. Mem Lia juga ingin menelusuri penyebabnya. Itu yang penting.
Tuhan adalah pribadi yang penuh kasih. Dia mau mengampuni semua dosa dan kesalahan manusia. "Dia sudah terlebih dulu mengasihi kita. Kita hormati Tuhan, ya, sayang, dengan berkata jujur."
"Semua orang pernah salah. Yang membedakan seorang dengan yang lain adalah apakah orang itu jujur dan rendah hati untuk mau mengakui kesalahan dan berjanji tidak akan mengulanginya."
Grasea beberapa kali mengelak. Bersikeras tidak tahu, tapi sanggahannya makin pelan.
Tiba-tiba gadis itu menangis, kaget mendengar pertanyaan Mem Lia: "Apakah ananda ada kekesalan dengan sikap Bu Elly?"
Grasea terperangah. Mengangguk. Napas dan suaranya berlomba dalam isakan yang tak kuasa ditahannya. Mem Lia memberi waktu bagi Grasea untuk mengumpulkan keberanian mengungkapkan apa yang membuatnya kesal.
Bu Elly dikenal tegas tapi suka tidak sabaran. Suatu hari Grasea tidak mengerjakan tugas rumah. Ya, hanya Grasea. Itu sudah beberapa kali terjadi.
"Kok, kamu malas sekali. Ini kan tugas sekali dalam seminggu. Pantas kamu bodoh," kata Bu Elly. Grasea menolak dikatai bodoh. Dia merasa masih mendengar tawa teman-temannya hari-hari setelahnya.
Grasea akhirnya mengakui itu perbuatannya. Dengan surat itu dia berharap sekolah menjadi tahu beban batinnya akibat ucapan Bu Elly. Sosok yang idealnya membangun keluhuran moral.
Grasea memakai nama Mem Lia untuk menutupi jejaknya. Kalaupun ketahuan, tentu guru penyayang itu segera membantu menyelesaikannya.Â
"Pasti Mem Lia tidak marah kalau namanya saya pinjam," pikir Grasea.
Pertemuan kecil itu berakhir dengan Grasea berada dalam pelukan Mem Lia.
***
Rapat pagi itu agak alot. Persoalan seakan mentah kembali. Ayah Grasea menelepon Bu Masri semalam. Memaki-maki. Tidak menerima bahwa Grasea mengaku sebagai penulis surat.
"Pasti anak saya dipaksa. Disudutkan. Mungkin juga diancam, supaya mengaku," kata ayah Grasea.
Rapat akhirnya memutuskan untuk segera memanggil orangtua Grasea buat bertemu langsung dengan kepala sekolah dan mendengarkan penjelasan Mem Lia.
"Saya pendeta. Tidak mungkin anak saya berbuat seperti itu," kata ayah Grasea yang segera ke sekolah siang itu.Â
Di depan orangtuanya, Grasea membantah semua pengakuannya. Anak itu menunduk saja sejak datang. Berbicara hanya jika ditanya dan diizinkan oleh ayahnya.
"Bukan saya, Mem. Saya cuma menemukannya," kata Grasea pelan.Â
Melihat sikap keras orangtua Grasea, Mem Lia selekasnya dan dengan tenang mengakhiri pertemuan.
Guru-guru kembali menggelar rapat. Mereka memutuskan untuk mengambil langkah lebih serius karena menyangkut kredibilitas sekolah. Surat itu divisum oleh lembaga Grafonomi Indonesia, badan autentifikasi tulisan dan tanda tangan. Suami Bu Masri adalah polisi. Laboratorium Pusat Forensik Kepolisian, katanya, mempercayai lembaga itu untuk kasus-kasus pemalsuan dokumen dan surat kaleng.
Seminggu kemudian, hasil visum keluar. Dipastikan, huruf-huruf pada surat adalah milik Grasea.
Orangtua Grasea kembali dipanggil. Mereka terdiam membaca hasil visum. Sejak datang, mereka tak banyak bicara. Mereka sadar ada sanksi berat untuk itu. Grasea bisa dikeluarkan dari sekolah, bahkan dipidana.Â
Mereka meminta maaf kepada sekolah, khususnya Mem Lia dan Bu Elly. Grasea menyesali perbuatannya. Juga kebohongannya pada Mem Lia, guru idolanya sejak kelas satu. Dalam hati dia berjanji menjadi anak yang lebih baik. Jujur. Rajin.Â
***
Pada Kamis, hari bakal terjadinya teror, seluruh warga sekolah bersiaga. Grasea diam-diam mengambil tas plastik berisi sebotol minyak tanah dan pemantik api. Kresek itu tergantung di jeruji pagar taman belakang, tertutup pandang oleh pohon kelor yang dua tahun lalu ditanamnya bersama Mem Lia dan teman-teman.
Ayah Grasea menemukan tas itu di kamar Grasea ketika putrinya sedang mandi. Ketika mencium tangan ayahnya sepulang sekolah, aroma minyak tanah tercium di rumah. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H