Mohon tunggu...
ERRY YULIA SIAHAAN
ERRY YULIA SIAHAAN Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis, guru, penikmat musik dan sastra

Menyukai musik dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Diary

"Jakcation in Monas": Urusan Sampah dan Toilet yang Belum Tuntas

16 April 2024   02:34 Diperbarui: 17 April 2024   08:55 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana pada puncak "Monas Week 2024" pada Sabtu (13/04/2024). "Jakcation in Monas" menjadi opsi menarik untuk menghabiskan liburan dengan keluarga. (Sumber: Dokumentasi keluarga).

Benar, asyik sekali menjadikan Monumen Nasional (Monas) sebagai tempat menghabiskan liburan dan untuk mengisi malam mingguan di Jakarta. Berbagai suguhan dan pengalaman menarik bisa didapatkan di titik ini. Sayangnya, urusan sampah dan toilet masih menjadi “pekerjaan rumah” buat warga Jakarta dan pendatang yang berkunjung.

Kunjungan saya ke area yang menjadi ikon Ibukota Indonesia ini adalah agenda dadakan. Berawal ingin melihat pohon-pohon pisang yang bertumbangan akibat hujan dan angin kencang pada Rabu, pekan silam. Hujan es sempat terjadi di daerah Depok, seperti cerita salah satu ponakan. Dia mengirimkan video di mana butiran batu es tergeletak di lantai teras yang basah oleh air hujan.

Ketika saya ke sana, Sabtu (13/04/2024) sore, sanak keluarga sudah bersiap-siap membawa anak-anak ke Monas. Hanya pada waktu-waktu tertentu, seperti liburan lebaran ini, kawasan taman dan pelataran Monas dibuka untuk publik yang ingin lengseran dan menikmati berbagai hiburan, sampai malam.

Yang agak khusus adalah sajian video mapping yang hanya berlangsung pada 11-14 April 2024. Video mapping merupakan suguhan di mana gambar dalam video diproyeksikan ke sisi Tugu Monas. Atraksi ini, seperti dimuat dalam Instagram resmi Monas, terjadwal dua kali sehari, pada malam hari, pada pukul 20.00-20.30 (sesi pertama) dan pukul 21.00-21.30 (sesi kedua).

Proyeksi itu memperindah Tugu Monas. Tembakan gambar dalam cahaya warna-warni yang indah dan animatif membuat Tugu Monas terlihat cantik dan kontras dengan keremangan malam.

Tugu Monas terlihat cantik dengan proyeksi gambar dalam warna-warna menarik dari atraksi video mapping (kiri dan tengah). Bergaya dengan  latar belakang Tugu Monas tanpa proyeksi video mapping tetap mencuri hati (kanan). (Sumber: Dokumentasi keluarga)
Tugu Monas terlihat cantik dengan proyeksi gambar dalam warna-warna menarik dari atraksi video mapping (kiri dan tengah). Bergaya dengan  latar belakang Tugu Monas tanpa proyeksi video mapping tetap mencuri hati (kanan). (Sumber: Dokumentasi keluarga)

Sebelum itu, ada juga pertunjukan Air Mancur Pesona Monas atau yang dikenal sebagai “Air Mancur Menari”. Pengunjung bisa menikmati lenggak-lenggok air mancur mengikuti musik dan pencahayaan yang menarik,  yang terjadwal pukul 19.30-20.00 dan pukul 20.30-21.00.

Menyimak informasi ini, sanak keluarga saya tak mau menyia-nyiakan. Gegap ketertarikan muncul, mumpung sekolah dan kantor masih libur.

Liburan di Jakarta bagi warga Jakarta dan sekitarnya dikenal sebagai “Jakcation”, kependekan dari Jakarta vacation atau liburan di Jakarta. Istilah ini merupakan turunan dari staycation atau stay vacation alias liburan di sekitar tempat kita tinggal. Artinya, jika memang terkendala macam-macam, apalagi dana dan waktu, stay cation merupakan pilihan yang baik. Mungkin saja, ada titik-titik wisata yang memang belum kita kunjungi.

“Jakcation in Monas” merupakan opsi menarik. Daya tarik titik wisata ini memang tak pernah usang bagi publik. Apalagi, pada waktu-waktu khusus seperti pekan lalu itu, ada event-event spesial yang bisa menghibur, seperti video mapping, “Air Mancur Menari”, panggung musik, dan lainnya.

Untuk masa khusus itu, kawasan Monas beroperasi dari pukul 06.00-22.00, namun khusus untuk eksplor Tugu Monas dibuka pada pukul 08.00-18.00 WIB (dengan tutup loket pada pukul 17.00).

****

Suasana di lapangan dan taman sekitar Monas yang cukup ramai pada puncak Monas Week 2024. (Sumber: Dokumentasi keluarga)
Suasana di lapangan dan taman sekitar Monas yang cukup ramai pada puncak Monas Week 2024. (Sumber: Dokumentasi keluarga)
Dari Depok, kami berangkat sebelum pukul 17.00 WIB dan tiba di sekitar Monas lewat pukul tujuh malam. Lumayan lama, karena lalu-lintas cukup padat makin mendekati lokasi.

Sulit sekali mencari tempat parkir. Jika parkir sembarangan atau tidak sesuai waktu/tempatnya, kata seorang bapak, ban kendaraan akan dikempiskan oleh petugas. Tentu saja, mobil kami terus melaju, ketimbang pulang dengan repot hanya karena penasaran untuk membuktikannya.

Begitu masuk area lapangan dan taman terbuka, riuh rendah suara ramai terdengar. Suasana juga cukup bingar. Kami menggelar alas duduk relatif kecil dan menjelajahi pandangan ke kiri, kanan, depan, belakang. Cukup banyak keluarga yang duduk di rerumputan.

Di lapangan yang terang benderang oleh lampu, delapan gawang futsal berjejer tegak, empat di kiri dan empat di kanan. Tapi, tak tampak pemainnya. Yang banyak adalah anak-anak yang berlarian, yang menerbangkan kunang-kunang atau gangsing terbang, yang meniupkan busa-busa sabun cair.

Di sekeliling kami, terlihat keluarga yang membuka bekal, yang memakan camilan, meneguk minuman yang dibawa sendiri atau dibeli di tempat, dan sebagainya.

Kami membuka makanan yang kami bawa dan menyantapnya bersama. Setelah itu, kamera telepon seluler mengabadikan kehadiran kami, berlatarbelakang Tugu Monas  pastinya.  Langit nampak lebih buram dengan gumpalan awan yang menandakan akan hujan.

Tak berapa lama kemudian, terdengar musik dari kejauhan. Panggung musik dimulai, meskipun sempat molor dari yang dijadwalkan.

Kami tidak ke air mancur, karena sudah beberapa kali menyaksikannya. Usai melihat anak-anak puas bermain di area lepas, kami pun bergerak menuju panggung musik. 

Ada sampah-sampah yang ditinggalkan begitu saja oleh pengunjung, berserakan di rerumputan dan di sekitar titian pejalan kaki menuju arah datangnya musik. Di beberapa tempat, terlihat tong-tong sampah, tetapi isinya tumpah ruah. Sampah berceceran ke luar.

Saya sempat berusaha memunguti sampah-sampah di sekitar kami duduk tadi. Tapi, rasanya tidak selesai-selesai, sementara rombongan sudah melangkah makin jauh.

"Tante, ayoooo," ujar Mama Zinki, ponakan saya yang cantik. Mungkin dia menyadari dan ingin berkata, "nggak akan selesai-selesai itu, Tante."

Dari kejauhan terlihat hamparan sosok-sosok manusia yang amat banyak memenuhi area luas yang terbentang di depan kami, di keredupan malam. Sosok-sosok itu menyemut sampai sejauh kami bisa memandang, dari mana suara musik yang berdegap-degap itu datang.

Kami berhenti di kejauhan. Demi keamanan anak-anak, kami tidak mendekat. Di atas rumput yang sedikit melandai, kami menyingkap kembali alas duduk. Tepat di belakang kami, Tugu Monas berbinar-binar menangkap proyeksi dari atraksi video mapping.

"Ini beneran, Tugu Monas jadi bergambar dan berwarna kayak gini," kata anak saya ketika melihat foto yang saya kirimkan. "Cantik sekali."

Saya kurang mengerti, mengapa persisnya begitu banyak yang bertahan duduk berlama-lama dengan menghadap ke arah panggung, sementara panggungnya sendiri nyaris tak terlihat. Suara musik juga kurang terang di telinga. Sementara awan yang lumayan tebal di langit mulai mengkhawatirkan. 

Sensasi Monas pada aroma malam dan tekstur keramaian mungkin saja menjadi magnet utamanya.

Seorang bapak nampak duduk di dekat kami, sedikit membelakangi keluarganya yang juga duduk. Namun bapak ini lama sekali terpaku pandangannya ke satu arah. Saya pun menarik garis lurus ke arah mana pandangannya tertuju. Oh ... ternyata ke tiang Monas yang bercahaya dan bergambar itu.

Tidak lama kami di sana. Anak-anak makin berkeringat. Pakaian mereka basah. Menyadari hal ini, kami putuskan untuk pulang. Pengasuh anak-anak celingak-celinguk mencoba menangkap marka untuk toilet. Nihil. Kami putuskan untuk nanti berhenti saja di tempat pengisian bahan bakar umum.

Saat berjalan menuju tempat parkir, kami menemukan sampah-sampah berserakan dan tong-tong yang tumpah ruah. Memandangnya cukup gerah.

Puji Tuhan. Begitu kami naik kendaraan, hujan turun. Sebuah delman dengan janur kertas warna-warni khas Betawi melaju di depan kami, membawa serombongan keluarga yang “selamat” dari guyuran air hujan menuju stasiun.

Malam mingguan di Monas usai. Cukup berkesan. Ada beberapa hal yang tentu akan kami ingat terus: kesadaran yang masih minim untuk tidak membuang sampah sembarangan, tempat-tempat sampah yang kurang banyak di Monas, pengunjung yang kesulitan mendapatkan toilet. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun