Saya sempat berusaha memunguti sampah-sampah di sekitar kami duduk tadi. Tapi, rasanya tidak selesai-selesai, sementara rombongan sudah melangkah makin jauh.
"Tante, ayoooo," ujar Mama Zinki, ponakan saya yang cantik. Mungkin dia menyadari dan ingin berkata, "nggak akan selesai-selesai itu, Tante."
Dari kejauhan terlihat hamparan sosok-sosok manusia yang amat banyak memenuhi area luas yang terbentang di depan kami, di keredupan malam. Sosok-sosok itu menyemut sampai sejauh kami bisa memandang, dari mana suara musik yang berdegap-degap itu datang.
Kami berhenti di kejauhan. Demi keamanan anak-anak, kami tidak mendekat. Di atas rumput yang sedikit melandai, kami menyingkap kembali alas duduk. Tepat di belakang kami, Tugu Monas berbinar-binar menangkap proyeksi dari atraksi video mapping.
"Ini beneran, Tugu Monas jadi bergambar dan berwarna kayak gini," kata anak saya ketika melihat foto yang saya kirimkan. "Cantik sekali."
Saya kurang mengerti, mengapa persisnya begitu banyak yang bertahan duduk berlama-lama dengan menghadap ke arah panggung, sementara panggungnya sendiri nyaris tak terlihat. Suara musik juga kurang terang di telinga. Sementara awan yang lumayan tebal di langit mulai mengkhawatirkan.
Sensasi Monas pada aroma malam dan tekstur keramaian mungkin saja menjadi magnet utamanya.
Seorang bapak nampak duduk di dekat kami, sedikit membelakangi keluarganya yang juga duduk. Namun bapak ini lama sekali terpaku pandangannya ke satu arah. Saya pun menarik garis lurus ke arah mana pandangannya tertuju. Oh ... ternyata ke tiang Monas yang bercahaya dan bergambar itu.
Tidak lama kami di sana. Anak-anak makin berkeringat. Pakaian mereka basah. Menyadari hal ini, kami putuskan untuk pulang. Pengasuh anak-anak celingak-celinguk mencoba menangkap marka untuk toilet. Nihil. Kami putuskan untuk nanti berhenti saja di tempat pengisian bahan bakar umum.
Saat berjalan menuju tempat parkir, kami menemukan sampah-sampah berserakan dan tong-tong yang tumpah ruah. Memandangnya cukup gerah.
Puji Tuhan. Begitu kami naik kendaraan, hujan turun. Sebuah delman dengan janur kertas warna-warni khas Betawi melaju di depan kami, membawa serombongan keluarga yang “selamat” dari guyuran air hujan menuju stasiun.