“Batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu jarum
batu bisu
kaukah itu teka teki
yang tak menepati janji?”
Demikian penggalan awal puisi karya Sutardji Calzoum Bachri. Penulis membacakannya pada suatu pagi di atas sebuah batu, di tengah area perkebunan teh di kawasan Puncak, Bogor. Udara dingin tak berhasil meredam kokang suara begitu ia mulai dilepaskan.
Hari itu tepat tanggal 17 Agustus 1989. Berpuisi di atas batu, jauh dari tempat-tempat upacara bendera yang pernah penulis datangi, bukanlah untuk mencari sensasi.
Bersama dua rekan penggemar sastra, satu dari Pendidikan Bahasa Indonesia dan satu lagi dari Sastra Prancis, penulis ingin menghirup aroma kemerdekaan dalam nuansa yang hening, dingin, dan menyatu dengan alam. Nuansa yang terhipotesis sebagai tak kalah hikmat dan bermakna dibandingkan dengan upacara bendera dalam agenda yang terfiksasi rapat-rapat.
Penulis dan kedua sahabat sastra bergantian menaiki batu yang sama, membacakan puisi. Juga, naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Pancasila, dan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Suara lantang menyebar di helai-helai daun teh yang masih berembun.
Penulis memilih puisi “Batu” karena terkenang terus dengan fenomenanya sebagai puisi sulit, ketika ia menjadi salah satu karya pilihan pada suatu lomba di Taman Ismail Marzuki. Sulit bukan berarti tidak bisa ditaklukkan. Seperti batu, ia akan takluk pada tetesan air yang terus menerus jatuh di atasnya.
Beraksi “di atas batu” terjadi tanpa rekayasa. Seturunnya dari bus, lalu berjalan menapaki jalan kecil di sela-sela barisan pohon teh, kami bertemu suatu area yang sedikit luas dan ada batu agak besar di sana. Kami langsung menaruh ransel di atas tanah, menjadikan batu itu “panggung upacara”, dan memulai ritual kami.
Ketika naskah Proklamasi disuarakan dan lagu kebangsaan digemakan, bendera merah putih berkibar dalam hati. Batang dan ranting-ranting teh bak peserta upacara yang setia, menjadi pendengar yang khidmat yang menjaga posisinya yang tegak.
***
Berpuisi dan membaca naskah Proklamasi Kemerdekaan RI di atas batu pada 17 Agustus, sungguh pengalaman tak terlupakan. Ini merupakan kebebasan berekspresi yang memancarkan arti kemerdekaan dari hati berbalut semangat merah putih.
Memori itu menjadi pembanding bagi setiap tanggal yang sama pada tahun-tahun berikutnya, juga sebelumnya. Pada masa-masa sebagai pelajar, penulis mengikuti upacara bendera di sekolah, umumnya sebagai petugas. Ada kalanya penulis menjadi pemandu lagu, tapi lebih sering sebagai pembaca naskah Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.