Merajuk, sesampai di rumah Jugul buru-buru ke dapur. Dia mengambil makanan, lalu menyantap porsi makan malamnya, sendirian. Ibu dan kakaknya heran. Dia makan selekasnya, lalu masuk kamar.
Kalau sudah begitu, keluarganya tahu, tidak ada yang boleh mengganggu. Dibiarkan saja dulu. Sampai rajukan Jugul berlalu dan bocah kelas tiga sekolah dasar itu muncul sendiri.
Tadi, ketika dipanggil ibunya, Jugul sempat berbisik kepada temannya.Â
"Tenang saja, nanti aku keluar lagi. Cuma sebentar," janjinya.
***
Jugul tiba di area tadi. Dia terbengong-bengong sendiri. Tidak ada satupun temannya yang tadi. Orang-orang dewasa juga tidak ada yang lalu lalang seperti biasa.
"Tumben," katanya dalam hati. "Kenapa jadi sepi begini?"
Dia berjalan menjauhi area itu, hingga tiba di lapangan dekat sungai kecil. Tempat terbuka untuk bermain layangan, badminton, dan lompat tali.
Kabarnya, daerah itu dulu angker. Cerita berseliweran, bahwa sejumlah anak kesurupan sepulang bermain dari situ. Tapi, Jugul suka logika. Pemberani. Jika menemukan sesuatu yang membuatnya heran, Jugul justru suka mencaritahu sampai menemukan jawaban.
Lapangan itu sedikit gelap. Tidak tersiram penerangan rumah.
"Ngiiik... nciiittt," sebuah suara terdengar dari jauh. Seperti memekik dan mencicit, berganti berat dan tebal. Bak suara musik grup Death Metal, berisik, tidak merdu.