Tak lekang oleh waktu pepatah yang satu ini: "Pengalaman adalah guru terbaik".
Seorang guru mempunyai alat mendidik yang positif dan negatif. Positif bisa berupa pemberian pujian atau reward setiap kali anak didik melakukan hal-hal yang baik. Negatif berupa pemberian sanksi atau hukuman jika seorang anak didik melakukan hal yang kurang baik.
Pengalaman adalah guru. Ia memberlakukan kedua alat tersebut. Alat mendidik positif dari pengalaman bisa berupa rasa bahagia dalam batin atau perolehan materi berdasarkan hal-hal baik yang kita lakukan. Misalnya, gaji yang baik karena kinerja yang optimal, pujian dan rasa puas atau bahagia karena melakukan tugas dan tanggungjawab dengan baik, dan sebagainya.
Alat mendidik negatif dari pengalaman adalah dampak kurang baik yang kita rasakan sebagai akibat dari kelalaian kita. Misalnya, dimarahi atasan karena kita tidak melakukan pekerjaan kita dengan baik, kecewa karena dikecam akibat kelalaian dalam tugas dan tanggungjawab kita, dan sebagainya.
Secara umum, kita melihat pengalaman sebagai sesuatu yang terkait dengan apa yang kita lakukan, baik sebagai akibat dari tindakan yang kurang baik atau sebagai hasil menyukakan dari tindakan yang kita anggap baik.
Pertanyaannya, bagaimana jika pengalaman itu merupakan fakta yang kita merasa sama sekali tidak andil di dalamnya dan tidak kuasa menahannya. Misalnya, kehilangan barang, padahal barang itu sudah kita letakkan dengan baik pada tempatnya?
Dalam hal ini, saya melihat ada celah di mana proses merespon kejadian itulah yang menjadi cikal esensi dari pengalaman itu sendiri. Apakah kita menyesali peristiwa itu berlarut-larut hingga kehilangan fokus dan energi untuk melakukan hal lain yang lebih penting. Ataukah, kita bersyukur, karena kita tahu, semua terjadi atas kendali Tuhan.
Ketika kita membiarkan kenangan akan kejadian itu terus-menerus menggerogoti emosi dan fokus kita, pengalaman baru sudah dimulai, yang siap membawa kita pada pengalaman sebenarnya. Misalnya, jika kita berbulan-bulan memikirkan hal kehilangan itu dan menjadi kurang produktif dalam pekerjaan, membuat kecewa atasan, maka kita sedang menimba pengalaman dengan alat negatifnya.
Sebaliknya, ketika kita bersyukur atas kejadian itu, dan tetap fokus pada tugas dan pekerjaan kita, atasan kita senang dan puas dengan hasil kerja kita. Itu menjadi pengalaman di mana alat didik positif bekerja. Hubungan kita dengan Tuhan, tempat kita bersyukur dan percaya, pun terpelihara. Hati kita penuh dengan sukacita. Pengalaman memberlakukan alat didik positifnya dengan rasa sukacita itu.
Banyak kisah pengalaman yang diceritakan dalam buku-buku, termasuk dalam Alkitab. Semua cerita pengalaman itu, ketika kita membacanya, menjadi pengalaman bagi kita, demikian pula tentang proses mana yang akan kita tempuh. Kita menjadikan cerita itu sebagai materi pembelajaran dalam kehidupan, ataukah mengabaikannya. Masing-masing membawa ekses ikutan yang bakal berbeda.