Mohon tunggu...
ERRY YULIA SIAHAAN
ERRY YULIA SIAHAAN Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis, guru, penikmat musik dan sastra

Menyukai musik dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berkaca pada Chiko dan Clarissa

18 April 2023   23:58 Diperbarui: 19 April 2023   16:15 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Clarissa, Chiko, dan Nyonya Sidauruk boru Manurung beserta bayi. (Foto: Erry Yulia Siahaan/Dokumentasi pribadi)

Clarissa mendapatkan giliran pertama. Anak kedua Nyonya Sidauruk boru Manurung ini dengan lancar mengucapkan "Doa Bapa Kami" secara solo, disusul "Pengakuan Iman Rasuli" bersama Chiko. Chiko kemudian mendapatkan giliran mengucapkan ulang "Pengakuan Iman Rasuli" seorang diri.

Tepuk tangan kembali memenuhi ruangan. Kagum. Ikut senang. Berbagai perasaan dan komentar terdengar di sana-sini.Menurut Mama Chiko, anak-anaknya meminta sendiri untuk diajarkan doa dan pernyataan iman itu. Itu bermula dari seringnya mereka diajak ke acara ibadah untuk orang dewasa. Mereka mendengarkan ucapan itu dan bertanya, "Mama, itu ngomong apa?"

"Saya memberikan penjelasan kepada mereka. Mereka lantas minta diajari," kata Mama Chiko, yang mengacungkan tangan tatkala ditanya oleh pendeta, "Mana ibu mereka?" Mama Chiko dengan bangga maju ke depan, menggendong si bungsu yang masih bayi.

Metafora

Sampai di sini, saya teringat apa yang dikatakan oleh Pdt. Dr. T Hutahaean pada suatu kesempatan, yang membingkai kualitas iman dalam sebuah metafora. Ada iman bayi, ada iman dewasa.

Metafora ini selintas disinggung juga oleh Pdt. Monru Nainggolan dalam ibadah wilayah mingguan di Sektor 5 di mana saya tinggal, Selasa (18 April 2023) malam.

Seseorang dengan “iman bayi”, ketika melakukan kebaikan akan berkata, “puji dong” atau “mana hadiah untuk saya?” Dia juga selayaknya bayi, yang maunya “menyusu”, “merengek”, “kalau disentuh sedikit saja bisa ngamuk”, dan sebagainya.

Sedangkan seseorang dengan iman yang dewasa, ketika melakukan kebaikan, akan berkata, “terpujilah Tuhan yang memampukan saya dan telah lebih dulu mengasihi saya”. Dia tidak hanya mau menerima, tetapi juga memberi. Dia tahan uji. Tidak “merengek” bila menghadapi situasi yang kurang mengenakkan.

Metafora itu bisa diperluas dengan melihat iman bukan sebatas mengucapkan doa, menghafal Firman, datang ke gereja, melainkan melampaui itu semua. Seperti Firman Allah bilang, “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.” (1 Korintus 13 ayat 13)

Berkaca pada Chiko dan Clarissa, apa yang kita lihat tentang diri kita?

Kita sama level seperti mereka, jika sebagai umat Kristen yang sudah dewasa, yang sudah mengenal-Nya berpuluh tahun, kita hanya tahu mengucapkan "Doa Bapa Kami" dan "Pengakuan Iman Rasuli", namun tidak menghayati dan tidak melakukannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun