Dia geli sendiri, tertawa dalam hati untuk konflik yang satu ini.
"Mengapa mereka tidak tanya ya, apa yang saya tahu soal dompet dan uang itu," kata Neri dalam hati. "Seandainya saja mereka bertanya, persoalan terjawab."
Di sisi lain, Neri melihat, kedua kubu tampak "menikmati" sekali aroma ketegangan di antara mereka. Sekalipun misterinya terjawab, emosi mereka belum tentu serta-merta surut. Bahkan mungkin, seperti yang sudah-sudah, mereka tetap "bermain peran" sangking menikmatinya. Menjadi cukup alasan untuk berkumpul, saling membakar emosi. Lagi dan lagi.
"Pandai sekali Timirawati dan Widiawan memang," pikir Neri. Pernah dia mencoba membuka "segel" mulutnya, tetapi malah dianggap sok mau jadi pahlawan.
Neri makin paham, mengapa bapak si kembar suka mengiriminya surat tentang polah adik-adiknya itu. Neri tidak menyesal bahwa dia dulu memutuskan untuk tidak tinggal lagi satu rumah dengan Timirawati dan Widiawan. Sebagai kakak tertua, dia pamit baik-baik pada bapaknya, untuk membina diri dengan tidak satu rumah lagi. Si bapak merestui karena yakin dengan integritas Neri, meskipun di luar sana orang menilai anaknya itu tidak punya integritas.
"Pergilah, nak, aku merestuimu," kata si bapak penuh haru dan bangga. "Aku akan terus menyuratimu."
Begitulah Neri. Diam saja. Orang bilang "main aman". Tidak ingin ada lawan. Ingin berteman. Orang lain tidak paham apa yang menjadi pergumulan Neri, di balik mulutnya yang kerap bungkam. Cukup orang tahu, hatinya senang karena pelanggan banyak yang datang.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H