Mohon tunggu...
ERRY YULIA SIAHAAN
ERRY YULIA SIAHAAN Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis, guru, penikmat musik dan sastra

Menyukai musik dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Neri

13 April 2023   23:55 Diperbarui: 14 April 2023   09:41 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo "Kamis Menulis". (Foto: Lagerunal)

"Ah, sudahlah, tidak usah bawa dompet," pikir Timirawati. 

Di rumah ibadah, Timirawati mencari uangnya ke mana-mana. Pandangannya menyapu sebisanya. Tidak ketemu. Dia pasrah. Tidak jadi memecah uang untuk memberi sedekah seperti biasa. Dia pulang dengan motornya.

Pada hari yang sama, Widiawan kehilangan dompetnya. Dia sudah membawa dompetnya ke rumah ibadah, tetapi ketika hendak pulang dan merogoh kantong celana untuk mengambil kunci motor, dia baru sadar bahwa dompetnya yang berwarna biru itu tidak ada. Dia kembali ke dalam rumah ibadah, menyusuri lintasan yang dipijakinya dari titik terakhir yang dia yakin dompetnya tadi masih ada. Itu ketika dia mengeluarkan uang seratus ribuan. Tetapi, pencariannya nihil.

"Ah, sudahlah, mungkin nanti ada yang menemukannya. Mudah-mudahan dompet itu kembali lagi kepadaku," pikir Widiawan, dengan gaya bicara hampir sama dengan kembarannya. Dia agak tenang, begitu yakin, isi dompetnya tidak banyak. Cuma recehan. Uang seratus ribuan satu-satunya yang dibawa dari rumah, sudah dipakainya tadi. 

(Dia juga tenang. Sama seperti kembarannya, dia tidak pernah menaruh kartu identitas dalam dompetnya. Mereka paling tidak mau bahwa orang-orang mengenali mereka dari barang milik mereka. Si kembar memang sebenarnya pribadi yang "tertutup" di satu sisi. Bahwa mereka mempunyai geng, itu karena mereka pandai "bermain peran".)

Di rumah, seperti biasa, tidak ada curhat-curhatan di antara mereka. Sesampai di rumah, masing-masing masuk ke kamar. Kalau sudah berada di kamar, satu sama lain tidak boleh saling mengganggu. Mereka sangat paham "wilayah kekuasaan" masing-masing. Namun, untuk makan bersama, bersih-bersih rumah, mereka cukup terlihat akur.

Apalagi bila di rumah sedang ada yang bertamu. Mereka pandai sekali menjaga citra. Mereka tidak mau membuat malu predikat mereka sendiri yang sudah dicitrakan selama ini, bahwa mereka adalah anak-anak berbakti. Mereka untuk satu dua kepentingan sangat paham menjaga persatuan. Sejak dulu mereka sudah mempunyai agenda besar: penakluk dunia. Potret diri tentu penting di sini, bagaimanapun.

***

Begitulah, sampai suatu hari, ketika kembali lagi ke rumah ibadah, di etalase terpampang pengumuman: "Telah ditemukan, sebuah dompet biru berisi selembar uang seratus ribuan. Silakan mengambilnya di kantor."

Timirawati sampai lebih dulu. Dia bergegas menemui orang kantor. Dia penasaran, cuma ingin melihat, apakah uang seratus ribuan itu miliknya atau bukan. Dia selalu memberi tanda pada uangnya, terlebih pada lembaran besar seperti seratus ribuan, tanda kecil yang nyaris luput dari pandangan. Di sudut atas kanan ditulisnya inisial "T". Kalau soal dompet, dia yakin itu bukan miliknya. Sebab dompetnya berwarna kuning.

Kepadanya disodorkan dompet biru. Timirawati sempat bimbang. Heran. Itu kan dompet Widiawan, katanya. Mengapa bisa ada di kantor. Bagaimanapun, dompet itu segera diambilnya. Dia cuma ingin melihat isinya, karena penasaran. Benar atau tidak uang seratus ribuan itu miliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun