Timirawati dan Widiawan adalah kembaran. Lahir pada hari yang sama, tapi beda jam. Mitos bilang, manusia punya tujuh kembaran. Jangankan tujuh, dua saja sudah dianggap merepotkan, begitu pikir orang-orang setelah mencermati polah si kembar. "Orang-orang" di sini, tentulah mereka yang berhubungan dekat dengan si kembar. Tidak cukup "dekat" tetapi "sangat dekat", seperti bapak si kembar.Â
Tetangga atau yang awam melihat mereka adalah anak baik-baik, sebelum akhirnya mereka bertemu pada satu titik yang membuat mereka sadar, ada yang janggal dengan si kembar.
Timirawati dan Widiawan berjenis kelamin sama. Akhiran "wati" dan "wan" diberikan sekadar penambah kepantasan, ketika nama-nama itu sampai di pendengaran.
Si kembar sering membuat sedih bapak mereka. Selaku orangtua tunggal, bapak si kembar berusaha melakukan yang terbaik untuk anak-anaknya. Tapi, sepertinya, apa yang dilakukannya selalu salah buat si kembar.
(Si kembar tidak mempunyai ibu. Sejak lahir mereka belum pernah bertatapan. Mereka sering mendengar nama ibu mereka.)
Sejak lahir, tanda-tanda ketidakrukunan di antara Timirawati dan Widiawan sudah kelihatan. Apalagi kalau sudah terkait urusan atau barang pribadi. Bapak si kembar selalu sedih dan kasihan. Terutama sejak anak-anak itu mulai bisa iri dan membanding-bandingkan. Kadang Timirawati yang jadi biang masalah, cemburu karena menurut dia saudara kembarnya dibelikan mainan yang lebih bagus. Entah dari warna mainannya maupun dari jenisnya.
Padahal, sejujurnya, mainan-mainan itu sama saja harganya. Dibelikan beda warna, maksud bapak si kembar, supaya ketahuan yang ini atau yang itu mainan siapa. Jika terjadi masalah, misalnya klaim-klaiman, si bapak sudah tahu bagaimana melerai.
"Pembedaan warna juga untuk melatih tanggung jawab," si bapak bicara dalam batin suatu kali, menjawab pertimbangannya sendiri ketika pertama kali hendak memutuskan kebijaksanaannya itu.
Sebaliknya, Widiawan bisa juga yang lebih dulu jadi biang persoalan. Dia tidak mau barang-barangnya disentuh orang lain, termasuk oleh saudara kembarnya.
Begitulah watak si kembar. Sampai suatu kali, persoalan muncul.Â
Si kembar ke rumah ibadah. Timirawati merasa kehilangan uangnya, selembar seratus ribuan. Dia merasa yakin sudah membawanya tadi dari rumah sebelum berangkat. Dia merasa sudah memasukkannya ke kantong celana, tanpa dompet. Sebab, dompetnya tidak kelihatan sewaktu dia mau berangkat. Dia lupa meletakkannya di mana semalam sepulang kerja.