Kalau dibiarkan lebih lama, buah-buah itu berubah menjadi kehitaman. Terguyur air hujan dan lembab pagi, mereka bisa menjadi lengket di aspal, khususnya di trotoar atau di lipatan beton yang sedikit ditinggikan untuk memagari pohon-pohon pinang itu. Sebagian menjadi gepeng karena sempat terinjak atau terlindas kendaraan.
Lia dan Ade bekerjasama dengan baik. Lia memegang sapu lidi besar yang bergagang tinggi dan serokan. Dengan alat-alat itu, Lia mengumpulkan buah-buah pinang dan memasukkannya ke pengki besar. Ade mengerok dengan pacul bagian-bagian yang lengket dengan buah pinang. Hasil serokan ditaruh di pengki. Setelah penuh, pengki berisi buah pinang itu diangkat masuk ke halaman di balik pagar. Sampah organik itu dibiarkan menumpuk di beberapa tempat agar lapukannya bisa menjadi pupuk alami.
Memanjat Pagar
Ade naik ke pagar agar lebih mudah memindahkan daun pinang kering yang panjang-panjang ke halaman rumah di balik pagar. Meskipun kering, mengangkatnya lumayan repot. Kadang ia harus ditekuk supaya menjadi lebih pendek, atau diseret begitu saja dari luar ke dalam, melalui pagar yang panjangnya lumayan.
Ade sempat menggiring dua-tiga lembaran daun dari luar ke dalam. Dia melihat masih ada lagi beberapa daun. Itu berarti, Ade masih perlu beberapa kali bolak-balik. Ade melihat, ada cara lain untuk memindahkannya.
Dia memanjat pagar hitam yang tersusun dari rangka-rangka besi horisontal itu. Ade terlebih dulu mencantelkan daun kering di punggung pagar. Setelah posisi panjatannya mantap, Ade memungut daun itu. Ade meminta Lia membantu memegangi pangkal daun dan sedikit mengangkatnya, supaya daun itu lebih mudah dipindahkan dari luar ke dalam.
Kejutan
Pada saat membantu Ade mengangkat pangkal daun, Lia menengadah. Lia menyapu pandangan secara acak. Di satu titik, di pohon mangga dekat Ade memanjat, Lia terpana. Pandangannya terhenti pada satu bentuk, kuning, di sela yang hijau-hijau.
Lia tak pernah menyangka bahwa yang dilihatnya kuning itu ternyata mangga. Lia butuh waktu beberapa saat untuk memastikan dulu bahwa itu benar-benar mangga. Maklum, Lia sedang tidak berkacamata. Lia tidak mau berteriak padahal dimensi visualnya keliru ternyata.
Buat Lia dan keluarganya, kemunculan mangga itu merupakan sebuah kejutan. "Keajaiban". Mereka sudah pasrah apakah pohon itu bakal berbuah atau tidak. Sudah lebih dari sepuluh tahun, kalau mereka tidak salah hitung, pohon itu ada di pekarangan.
Beberapa kali pohon itu dipangkas. Kakak ipar Lia sampai membacok-bacok batangnya. "Supaya berbuah," kata kakak iparnya.