Intinya, ada pembelajaran di sana. Bahwa hidup ini hanyalah sementara. Tetapi, hidup adalah anugerah, karunia, dan tidak boleh disia-siakan.
Memang tidak mudah menjalaninya. Belajar adalah sebuah proses yang perenial. Berakar dari kata "ajar", belajar di sini tidak cukup hanya dari membaca dan mendengarkan, atau melakukan aktivitas yang disebut "study" dalam bahasa Inggris. Tetapi, juga menghayati dan mengamalkannya hingga menjadi sebuah "keterampilan", atau melakukan yang selaras dengan kata "learn".
Tawa-tangis akan selalu ada selama manusia hidup dalam “kemah”. Suka-duka datang silih berganti, dalam irama yang mungkin cepat, mungkin juga sedang atau lambat. Dalam nada-nada yang mungkin datar, mungkin juga meninggi atau melandai. Dalam genre yang mungkin keras seperti rock, mungkin juga sendu seperti nada-nada mellow.
Satu tema yang sama bisa hadir dalam warna lagu yang berbeda. Tema kematian bisa tentang yang tua, yang muda, yang setengah baya, yang masih anak-anak, yang bayi, atau yang baru lahir. Bisa karena penyakit, kecelakaan, bencana alam, peperangan, dan sebagainya.
Tema kematian bisa ada di rumah si kaya atau si miskin. Tangisan kehilangan bisa meraung dari “kemah-kemah” yang sama, yang sedetik lalu mungkin baru saja menggemakan tawa kegirangan.
Tawa kebahagiaan bisa membahana dari sudut-sudut ramai kota, atau dari pojok-pojok kumuh yang dipandang sebelah mata. Silih bergantinya tidak terjadwal. Hati penuh syukur dan iman yang kuat menjadi alat untuk mengimbangi tempo dan fluktuasinya. Bahkan, untuk "ikut bernyanyi" bersamanya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H