Cortex mencatat, defisit navigasi sering terjadi bersamaan dengan prosopagnosia. Annie melaporkan bahwa kemampuan navigasinya jauh lebih buruk daripada sebelum dia jatuh sakit. Data survei laporan diri dari 54 responden dengan long COVID menunjukkan, mayoritas responden mengalami penurunan pengenalan visual dan kemampuan navigasi.
“Singkatnya, hasil Annie menunjukkan bahwa COVID-19 dapat menghasilkan gangguan neuropsikologis yang parah dan selektif yang mirip dengan defisit yang terlihat setelah kerusakan otak, dan tampaknya gangguan visual tingkat tinggi tidak jarang terjadi pada orang dengan long COVID,” kata Cortex.
Stroke
Dalam tulisannya, Bonior mengingatkan, penting juga untuk menggarisbawahi batasan dalam kasus Annie tersebut. Misalnya, bahwa Annie pernah mengalami stroke. Seperti diketahui, risiko stroke meningkat pada kasus Covid. Juga, diagnosis Covid itu sendiri (pada masa awal pandemi di mana penegakan diagnosis masih sulit dilakukan) ternyata tidak bisa dipastikan positif Covid, meskipun ada dugaan kuat ke arah sana.
Kasus serupa Annie hingga kini tergolong jarang, namun tidak menutup kemungkinan ada tapi tidak terlaporkan. Baik karena yang bersangkutan tidak mencari pengobatan, atau terjadi penggabungan gejala prosopagnosia ke dalam kategori masalah otak yang lebih luas, yang merupakan keluhan sangat umum bagi mereka yang menderita Covid cukup lama. Kasus Annie sendiri dinilai cukup untuk mengaitkan infeksi Covid dengan kemungkinan terjadinya gangguan kognitif untuk tipe yang sangat selektif.
Dengan adanya temuan tersebut, kata Bonior, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengkaji korelasi antara Covid dan risiko neurologis dan psikiatris jangka panjang yang disebabkannya.
Prosopagnosia
Psychology Today mendefinisikan prosopagnosia sebagai kasus di mana seseorang tidak dapat mengenali wajah yang sebelumnya cukup akrab dan seringkali tidak dapat membedakan wajah orang asing. Mereka mungkin juga kesulitan mengenali tempat atau benda yang sudah dikenal atau untuk mengenali perbedaan antara wajah seseorang dan benda lain. Beberapa penderita prosopagnosia bahkan kesulitan mengenali dirinya sendiri. Para peneliti memperkirakan bahwa 1 dari 50 orang mungkin memiliki beberapa bentuk prosopagnosia.
Selain diduga berkaitan dengan infeksi Covid seperti pada kasus Annie di atas, prosopagnosia bisa muncul dan berkembang selama masa kanak-kanak karena faktor keturunan. Tetapi, bisa juga akibat kelainan atau kerusakan otak prenatal atau pada masa kanak-kanak. Prosopagnosia non-keturunan bisa terjadi pada usia tua setelah mengalami cedera otak, stroke, atau timbulnya penyakit degeneratif. Mendiagnosis prosopagnosia secara akurat seringkali terbukti sulit, karena pengenalan wajah melibatkan proses kompleks di otak.
Untuk kasus prosopagnosia, kata Psychology Today, istilah "kebutaan wajah" sedikit keliru. Seseorang dengan kondisi ini mungkin melihat langsung ke wajah seseorang, tetapi tidak dapat menangkap pengenalan keseluruhan wajahnya. Mereka mungkin hanya dapat fokus dan mengidentifikasi fitur individual. Setelah wajah orang itu berlalu dari pandangan, mereka tidak dapat mengingatnya kembali. Selain “kebutaan wajah”, penderita prosopagnosia mungkin juga sulit mengenali petunjuk tentang wajah seseorang dan untuk mengingat suatu tempat.
Bagian otak yang bermasalah dalam kasus ini adalah fusiform gyrus yang bertanggung jawab untuk mengenali wajah manusia secara lebih rinci daripada benda mati yang sama rumitnya. Bagian ini diyakini berhubungan dengan memori. Ada teori yang menyatakan bahwa prosopagnosia terjadi ketika fusiform gyrus berubah bentuk atau rusak.