Walter J Ong membahas soal kelisaan dalam bukunya “Orality and Literacy: Technologizing of the Word” (2005). Namun ia tidak hanya membedakan kelisanan dan penulisan (keberaksaraan) secara sederhana; bahwa yang kelisanan semata tidak tertulis sementara penulisan adalah segala bentuk yang tertulis. Pembedaan ini sering dilakukan para sarjana yang focus pada ideologi. Mereka yang sangat memperhatikan ‘teks’, berasumsi bahwa verbalisasi dalam bentuk oral pada esensinya sama dengan verbalisasi dalam bentuk tertulis, bedanya yang oral adalah tidak tertulis. Pembedaan seperti itu pada akhirnya membuat kelisanan dimaknai sebagai ‘unskillful’ dan tidak terlalu berharga untuk dipelajari (Ong. 2005 (2002); 10).
Untuk memahami konsep orality versi Ong, orang harus keluar dari kategori sederhana tersebut, -dan bahkan membalik keyakinannya dan turut pada gagasan utama Ong yakni; bahasa adalah sebuah fenomena lisan dan bukan tulisan:
“It would seem inescapably obvious that language is an oral phenomenon. Human beings communicate in countless ways, making use of all their senses, touch, taste, smell, and especially sight, as well as hearing (Ong 1967b, pp. 1–9). Some non-oral communication is exceedingly rich —gesture, for example. Yet in a deep sense language, articulated sound, is paramount. Not only communication, but thought itself relates in an altogether special way to sound…”. (ibid)
Lalu apa arti penulisan (writing) bagi bahasa? Menurutnya, penulisan tidak dapat menggantikan kelisanan (orality). Dan mengikuti gagasan Jurij Lotman, ia menyebut penulisan sebagai “a secondary modeling system, dependent on a prior primary system, spoken language” ((Ong. 2005 (2002);8). Jika penulisan mengubah kata-kata menjadi tulisan, maka penulisan selalu meninggalkan jejak sementara kelisanan seakan-akan tidak meninggalkan jejak.
Jika kelisanan tak bisa diganti dengan bentuk apapun dari penulisan (written/print) dan keduanya adalah dua system yang saling dependent maka, menurut Ong, kelisanan dari sebuah budaya tidak akan pernah disentuh, dirusak atau dirubah oleh penulisan (writing/print). (Ong. 2005 (2002); 10).
Karakteristik pertama dari orality adalah Sound (suara). Berbeda dengan tulisan yang dapat meninggalkan jejak. Suara, meski dapat diingat tetapi tidak dapat dicari kemanapun. Suara tidak mempunyai focus dan tidak punya jejak. Atau dalam bahasa Ong; “They have no focus and no trace (a visual metaphor, showing dependency on writing), not even a trajectory. They are occurrences, events (Ong. 2005 (2002); 31)”.
Tidak ada cara untuk menghentikan suara dan memiliki suara. Kita dapat memberhentikan gerakan gambar dan kemudian memilih satu gambar dalam sebuah layar. Tetapi jika kita menghentikan gerakan suara, kita tidak memiliki sesuatu –hanya kebisuan, atau tidak ada suara sama sekali.
Karena berbasis pada suara, dan tanpa teks. Suara adalah tanpa jejak, dan karakteristik kedua orality muncul dari masalah bagaimana kemudian me-recall “rekaman suara” atau bagaimana suara menjadi sesuatu yang “organized material”?
Ong yang meminjam Havelock menjawab : “The only answer is: Think memorable thoughts. In a primary oral culture, to solve effectively the problem of retaining and retrieving carefully articulated thought, you have to do your thinking in mnemonic patterns, shaped for ready oral recurrence” (Ong. 2005 (2002); 33).
Ketika tidak ada jejak, sebab tidak ada teks, kelisanan mengembangkan pikiran dengan pola mnemonic; segala teknik yang bermaksud mengembalikan memori.. Biasanya teknik mnemonic mempunyai formula ekspresi tertentu misalnya ritmis (ada irama), polanya seimbang, banyak repetisi dan sebagainya. Dongeng/cerita adalah salah satu bentuk mnemonic, tetapi dongeng itu pada akhirnya menempatkan kita pada cerita yang lain lagi, dan cerita lebih besar dan akhirnya pada keseluruhan network budaya(Lihat http://www.jpwalter.com/machina/?p=5).
Tetapi yang harus digarisbawahi bahwa masalah mnemonic dan formula ekspresi ini pada akhirnya tidak hanya berhubungan dengan ingatan, tetapi juga pemikian (thought) dalam budaya kelisanan. Jadi patut dicatat disini, bahwa Ong sedang memikirkan masalah peradaban. Kesadaran terhadap mnemonic mempengaruhi pemikiran dan cara berekspresi masyarakat kelisanan. Misalnya adanya dongeng, mitos (keagungan peristiwa) dan yang sering dijumpai di sastra Indonesia adalah; rima, sebab rima adalah nada. Dalam kelisanan bukan logika yang dominan tetapi rasa. Bukan kebenaran interpretasi tetapi keindahan (misalnya praktik penguasaan kitab suci muslim di Indonesia, dalam beberapa hal bukanlah pada kemampuan interpretasinya melainkan kemampuan membacanya).
Contoh penting dalam tubrukannya kelisanan dan tulisan di Indonesa adalah upaya peradaban jawa mengenalkan huruf/tulisan jawa modern (hasil metamorphosis huruf pallawa). Huruf mereka selalu punya vocal (suara); (honocoroko, dotosowolo, podhojoyono, mogobothongo) tidak ada l, k, m seperti alphabet latin. Basis aksaranya selalu meminta vocal/suara. Bahkan untuk mengiringi pelajaran soal huruf (literacy) aksara jawa itu, mereka mengiringinya dengan cerita lisan tentang Ajisaka (orality). Barangkali, orang jawa malah lebih mengingat ceritanya ketimbang hurufnya. Barangkali…
*) sekadar share materi seorang teman pada sebuah seminar di Universitas Mercu Buana, Meruya Jakarta. juga dipublish di blog ini. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H