Rumi si Maulawi itu menemui seseorang yang bangun kesiangan. Mungkin tidak sebagai orang yang berkasih-kasihan. Seperti Rumi mencari Syamsuddin Muhammad sang Darwisy. Atau kedatangan Rumi dengan cinta kepada Salahudin Faridun Zarkub. Atau juga juta simpati Rumi kepada Husamuddin Chelebi yang dari usulnya Rumi menggubah lagi Matsnawi.
Rumi hanya membawa kata-kata. Kata-kata yang diceritakan Rumi sebagai pembunuh kata-kata itu sendiri. Sebab kata Rumi “Kata-kata hanyalah bayangan yang nyata!”. Lalu kata Rumi lagi “Jika, seseorang percaya bahwa kau mencintainya karena kau bilang “aku cinta padamu” maka ia bukan percaya karena katamu itu, melainkan sebuah simpati pada hal yang akan selalu tersembunyi dalam hati”.
Pagi itu, untuk kali pertama, seseorang itu menyadari bahwa Rumi hadir sembari mengajak Nietszche yang bercerita tentang manusia dan kehendak untuk berkuasa melalui kata-kata. Atau barangkali Rumi datang ditemani Lacan yang bercerita manifestasi hasrat manusia melalui bahasa.
Manusia selalu menjadi pengadil, penghukum dan penilai semua hal di dunia lewat kata-kata dan bahasa; benar-salah, baik-buruk, dosa-pahala, tuhan-tak bertuhan. Manusia selalu mempertimbangkan nilai atas dasar dirinya sendiri bukan karena kata agama, tuhan, tempat ibadah atau hal-hal yang selamanya akan dianggap mulia…
Sebelum pergi, Rumi hanya mengulang kata-kata Ali RA; siapa yang mengenal dirinya sendiri, ia akan mengenal tuhannya sendiri. Siapa yang mengenal kepentingannya ia akan mengenali batas kemuliaannya.
Lalu, tinggallah seseorang itu menyadari bahwa siapa yang berani jujur pada diri sendiri maka ia akan menemukan kejujuran. Namun sayangnya, ia tak bisa berkata apa-apa saat bertanya pada diri sendiri; “apa kepentinganku menulis ini?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H