Pernah, warga desa Mataram **) dibagi menjadi empat. Pertama, Kuli Kenceng merupakan warga desa inti yang telah menerima bagian tanah milik desa. Kedua, Kuli Kendo, yang memiliki pekarangan dan rumah serta masih termasuk dalam daftar warga desa yang suatu saat (jika ada lowongan) menjadi golongan penerima bagian tanah desa. Ketiga, Tumpang yang hanya memiliki rumah yang menumpang di halaman atau pekarangan orang lain. Keempat, Tumpang Tlosor yang sama sekali tidak memiliki rumah dan tinggal di rumah orang lain. (C. Van Vollenhoven, 1918)
Golongan pertama, yaitu warga desa inti, mendapat bagian kerja wajib yang paling berat; mengerjakan sawah kepala desa, ataupun pejabat desa lainnya, memelihara saluran pengairan, ikut gugur gunung, jaga malam, dan bila diperlukan, mereka juga harus siap ikut berperang sebagai tentara kerajaan. Selain itu mereka inilah yang dianggap mampu memikul beban pajak karena mereka mempunyai sarana untuk membayar pajak, yaitu bagian yang ia peroleh dari tanah komunal. Jadi pajak disesuaikan dengan hak dan kemampuan.
Sekarang semua yang disebut warga desa dibebani pajak. Masyarakat cuma terbagi menjadi dua jenis; ”orang tidak bijak” dan “orang bijak yang taat membayar pajak…”. ”Kebijakan” yang malah tak pernah jelas menata hak dan kemampuan....
*) sedikit bercerita apa yang ada di dalam gaya Mataraman, abis hari ini liat tulisan ’gaya Mataraman’ tapi tetap nggak ngerti dimana Mataramnya...
**) Mataram = kesultanan yang dimulai dari Panembahan Senapati setelah Kesultanan Pajang di Jawa (terima kasih buat om Ramdhani Nur untuk ngingetin Mataram yang mana, lupa euy...)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H