Mohon tunggu...
Er Pnambang
Er Pnambang Mohon Tunggu... -

"Sebab hidup tak semudah ketika anda bercerita, menulis atau berkomentar, mengecil diri kadang bisa mengisar setapak...". Tapi, kok serius sekali saya kayaknya ya? Di Kompasiana saya cuma pengen satu hal; ketawa; entah menertawakan atau ditertawakan...hahahahahahahahhhahahahahahahhhahahah

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Prosa untuk Gadis Senja

19 Agustus 2010   03:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:54 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ini harus Mas" itu kata terakhir dari perempuan itu. Dia mengakui pula bahwa semua tetangga telah memakainya. Tapi ah, haruskah aku seperti tetangga? haruskah aku seperti yang lainnya?

Aku memandangi lagi tubuh yang kini mematung di depan pintu kamar kosku. Dia tak seberapa jauh di atas usiaku. Tidak muda, tapi belum jadi seorang ibu kukira. Ia memakai kemeja putih dan rok hitam. Rapi.

Wajahnya tidak jelita, biasa saja. Hanya saja, harus kuakui kalau bibirnya sedap dipandang mata. Seorang pujangga akan berkata itu ranum, tapi bagiku lebih. Hidungnya tidak mancung, akan tetapi dengan tahi lalat kecil disana. Kata primbon jawa, entah edisi berapa, pertanda ia banyak disukai orang –termasuk saya.

Dahinya adalah dahi senja, sedikit berkeringat dan letih. Tapi tetap saja, bagiku ia memesona. Tingginya hampir sama denganku, dengan tubuh yang merekah berisi. Dan kau tahu? Itu seleraku sekali! Dia tidak seperti model kurus kering yang kerap bangga dengan kata langsing! Bagiku, tubuhnya tertata. Ah, kalau aku terus bercerita pesonanya, feminis akan menuduhku mengeksploitasi tubuhnya hanya untuk cerita.

Dan ketahuilah kawan, kupastikan sore itu kosku lengang. Entah kemana perginya para penghuni. Terang, aku malas mencari. Mengapa pula aku harus berpaling dari bibirnya yang mempesona?

Diam-diam, kubulatkan hatiku; aku setuju! Maaf kawan, aku tak kuasa menolak ia -yang seperti kubilang, biasa saja tapi mempesona. Meski dengan itu, aku harus mengorbankan empat puluh ribu.

Segera kuperiksa dompetku, saku celanaku, laci mejaku, bahkan saku tiap pakaian kotorku. Tapi sayang hanya kudapati delapan ribu hingga sampai kiriman Bapakku esok hari. Dalam hitungan detik, senja yang kukira tadi cerah berubah jadi gundah.

Aku kembali di hadapannya disertai kebingungan.Terlalu bodoh aku menolak tapi terlalu pengecut aku untuk berkata tidak. Aku diam hingga datang tegaku berkata "Maaf mbak, kata pemerintah, Abate digratiskan. Jadi saya...".

Bibirnya yang ranum itu merengut, dan segera dibawa paksa tubuhnya pergi melangkah tanpa kucegah. Tersisa sunyi, senja, aku dan bisikku pelan-pelan; ”alhamdulillah....”

*) Untuk mengenang para penjaja Abate setelah membaca sebuah surat pembaca Kompas 26 Juni 2010, juga keanehan yang mungkin kita jumpai lagi esok hari di negeri yang belum selesai ini....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun