Mohon tunggu...
Er Pnambang
Er Pnambang Mohon Tunggu... -

"Sebab hidup tak semudah ketika anda bercerita, menulis atau berkomentar, mengecil diri kadang bisa mengisar setapak...". Tapi, kok serius sekali saya kayaknya ya? Di Kompasiana saya cuma pengen satu hal; ketawa; entah menertawakan atau ditertawakan...hahahahahahahahhhahahahahahahhhahahah

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tombo Ati (Sekali Lagi)

17 Agustus 2010   17:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:56 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“tombo ati  iku limo perkarane
kaping pisan moco quran lan maknane
kaping pindo sholat wengi lakonono
kaping telu wong kang sholih kumpulono
kaping papat kudu weteng ingkang luwe
kaping limo zikr wengi ingkang suwe
salah sawijine sopo biso ngelakoni
mugi-mugi gusti alloh nyembadani...”

Ingat hati, ingat pada dharma; bahwa setiap manusia yang turun ke dunia punya dharma. Lho kok tiba-tiba ingat keduanya? Saya cuma bisa bilang kebetulan. Kebetulan lagi nyetel Opick nyanyi Tombo ati. Kebetulan saat itu juga saya ditanya teman soal wastu siwong, derajat tertinggi makhluk dalam teks Hindu; Sanghyang Siksakanda Ng Karesian, 1518 Masehi. Wastu siwong adalah manusia yang sebenar-benarnya alias manusia yang tahu dharmanya. Ia setingkat di atas siwong; manusia yang berperilaku hewan.

Saya, salah satu adek saya dan Mbah Putri pernah membicarakan masalah dharma suatu kali di Banjarsari. Saat itu, adek saya bertanya, ”Lho mas, kalau orang hindu dan buddha itu, masuk surga apa neraka?”. Dengan terbata-bata saya menjelaskan surga-neraka juga darma-karma, hingga Mbah Putri yang saya cintai tiba-tiba menginterupsi ”Hush..sudah! kasian adikmu itu, pikirannya belum nyampe kesitu”

Saya jadi agak dongkol juga, lagi njelasin enak-enak, tiba-tiba di-cut dengan enak-enak juga. Kenapa penjelasan seperti itu saja meminta sampai tidaknya pikiran? Toh masalah darma kan bukan masalah Tuhan yang memang tidak bisa dan nggak usah dipikirkan?

Masalah itu masih menggantung hingga teman saya bilang bahwa ia mengagumi Tajuddin, jamaah makam Mbah Priok yang menjadi korban saat menjalankan dharmanya sebagai Satpol PP. Yang miris dari dharma Tajuddin; ia tewas ketika berhadapan dengan jamaah makam Mbah Priok sendiri.

”Saya jadi ingat tentang dharma Adipati Karna” katanya. Adipati Karna adalah kakak Pandawa dari ibu Kunti yang berhadapan dengan Pandawa dalam perang Baratayudha. Konon katanya sebelum perang ia berkata pada ibunya, ”Hai Ibu Kunti, aku tahu bila aku maju ke padang Kurusetra, aku akan menghadapi saudaraku para Pandawa. Tapi bagaimana mungkin aku yang makan dari negaraku, harus menjadi musuh negaraku? Inilah tugasku, dharma yang harus kulaksanakan”

Sebagai orang lurus, meski entah lurus kemana, saya protes. ”Wah... mosok disamakan dengan Karna tho Mas?”. ”Lha memang kenapa?”. ”Adipati Karna itu di pihak Kurawa lho, pihak yang salah. Apa ndak ada tokoh dari pihak Pandawa yang kayak Tajuddin itu?”. ”Lho mau bicara benar-salah tho? Kalau kusamakan dengan Pandawa malah jelek?”. Saya tambah kaget, gimana ceritanya kawanan Amarta, yang akhirnya masuk surga itu jelek?

Pandawa, kata teman saya, sebenarnya tak berhak mendapatkan tahta Astinapura; pokok masalah dari Perang Baratayudha. ”Lha mereka kan bukan darah wangsa Kuru tho? Puntadewa anaknya Batara Dharma. Arjuna anaknya Batara Indra. Werkudara itu kan adiknya Hanoman, dari Batara Bayu. Lha emang ada anak yang bapaknya Pandu, si raja Kuru itu, kalau kita ikut logika kekuasaan waktu itu?”. Saya menggelengkan kepala. ”Jadi Pandawa pihak yang salah mas?”. ”Nggak salah juga. Sudah begitu dharmanya, sudah begitu kehendak dewata. Apa istimewanya darah atau trah di hadapan Tuhan?”. Wah...tambah mumet saya; sebegitukah kejamnya dharma?

”Kalau mikir tokoh yang paling licik dan kejam sepanjang kisah Mahabharata, dia malah orang yang paling tahu dharma dan karma”. ”Siapa mas?”. ”Siapa lagi kalau bukan Khrisna?”.

Khrisna menghidupkan Arjuna sebelum Baratayudha ketika Arjuna terbunuh oleh raja yang ditolak menjadi murid Dorna. Padahal Arjuna adalah murid kesayangan Dorna karena kesaktiannya. Khrisna juga menunjuk Srikandhi, titisan Dewi Amba yang pernah mengutuk Bhisma, untuk maju menghadapi Bhisma. Atas saran Khrisna pula Puntadewa, ksatria berdarah putih itu, maju menghadapi Salya, yang memang hanya mampu dibunuh ksatria berdarah putih. Khrisna pula yang menggagas meniupkan kabar Aswatama terbunuh ketika Begawan Durna menjadi panglima perang Kurawa. Kabar yang membuat Durna kemudian meletakkan senjata, tak mau berperang dan akibatnya; Durna ditebas lehernya!

”Lha kalau nggak tau dharma-karma, mana mungkin dia tau kudu mengajukan Srikandhi buat ngelawan Bhisma? Atau memerintahkan Bima melakukan hal tercela memukul Duryudhana dengan gada di paha, sebuah karma ketika Duryudhana mempermalukan Drupadi?”. ”Wah..jan licik tenan! Tapi apa sekejam itu darma-karma itu?” tanya saya.

”Ya nggak licik, ndak kejam!”. ”Lho?”. ”Lha apa nggak lebih licik kita-kita ini, coro-coro, kelas kecoa yang sok bener, sok bersih, padahal nggak bersih-bersih amat? Giliran kalau disebut orang lain coro, licik, kotor, nggak mau? Licik-nggak licik, kejam-nggak kejam, benar-salah pada akhirnya cuma karangan kita. Kalau ada kebathilan nggak mau merangi. Alasannya merasa bersih dengan diam saja atau bahkan dengan sok bilang ’sudah begitu dharmanya’!”.

Saya terus diam, seperti terus-nya ceramah teman saya

”Krishna itu dengan yakin menerima Baratayudha. Baratayudha memang harus terjadi. Menerima itu juga bukan diam, tapi melakukan sesuatu. Mungkin saja dia tahu, dia akan dikenali oleh kita sebagai yang paling licik di sepanjang cerita Mahabharata, mengalahkan Sangkuni. Tapi apa pentingnya buat tujuan hidup? Hidup itu kadang tidak bisa bersandar kepastian logika, makanya Kanjeng Nabi Muhammad bersabda sebaik-baik masalah adalah yang tengah; tidak sok benar, tidak sok salah. Bagi saya, cerita Khrisna mengajari kita pada ketidakpastian; bersikap tengah-tengah; melampaui benar dan salah! Kalau hidup tidak pasti, kita jadi sadar ada Tuhan di balik kehidupan. Kalau hidup tidak pasti, yang penting adalah bagaimana merasa dan mendengarkan hati. Masalahnya kemudian apa hati kita sehat?”

”Wah mana saya tahu mas?”, jawab saya. ”Makanya salah satu wali di Jawa berpesan soal obat hati...Karena dengan hati, Gusti alloh nyembadani, Gusti Alloh mencukupi” katanya. “Wah beneran mas?” tanya saya. “Lha iya, yang dhawuh itu kelasnya sudah kanjeng sunan. Sunan itu kan...”. ”Nggak begitu maksud saya!” potong saya. ”Maksudmu?”. ”Kira-kira, dengan mengobati hati kita jadi cukup duit pas mau beli hotel nggak ya mas? Sama ini mas, kalau bisa, cukup uang buat beli mobil, terus...apalagi ya? Oya, cukup buat beli klub sepakbola yang tipe wordclass. Piye mas?” []

*) membaca tulisan lawas dan memostingnya sekali lagi dengan sedikit modifikasi. Untuk teman berziarah diri malam ini...semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun