Aksara latin memungkinkan kita terus belajar pada bangsa asing. Cukup dengan satu kali pemindahan huruf, maka logika orang Indonesia akan berganti dengan logika orang Inggris atau Amerika. Sebaliknya, betapa susah anak bangsa sekarang membaca kebudayaan nenek moyang melalui aksara yang ada dalam sebuah prasasti atau lontar.
Inilah masalah besar kita dalam menghadapi dominasi bahasa asing. Kalau begitu, meski kita memandang sinis posisi Sutan Takdir Alisjahbana dalam Polemik Kebudayaan (1934-1939) yang mengusulkan pengadopsian budaya barat sebagai model kebudayaan Indonesia, pada kenyataannya, usulan itu sudah kita lakukan. Pembaratan mengakar sejak aksara latin diakui, secara diam-diam, sebagai aksara Indonesia.
Bahasa Indonesia Sebagai Medan Pertempuran
Adalah tidak mungkin kita kembali memakai aksara lama; Pallawa atau semacamnya. Aksara latin sudah menguasai segala bidang kehidupan. Ketika peradaban berdasar pada tulisan, nasib bahasa Indonesia pun bergantung pada aksara latin-nya. Dengan aksara ini, bahasa Indonesia membuka diri pada istilah apapun, baik asing dan lokal. Bahasa Indonesia, dengan demikian, menjadi sebuah medan pertempuran. Masalahnya, setiap hari teknologi juga informasi memperkaya bahasa Indonesia dengan istilah asing, sementara istilah lokal didiskualifikasi. Pertempuran pun berjalan tidak seimbang.
Di titik inilah, artikel berbahasa Indonesia dengan campuran bahasa lokal menjadi penting. Artikel semacam ini memperjuangkan terus istilah lokal menjadi Indonesia. Dengan semangat seperti ini, niscaya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kaya akan bahasa kita sendiri. Bahasa Indonesia akhirnya benar-benar menjelma menjadi bahasa persatuan yang tidak hanya mendesak bahasa lokal dan menyilakan bahasa asing. Amin.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H