Penulis Artikel : Chiara Aishabyna Firasty & Ero Alvaro, Mahasiswa Universitas Indonesia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jurusan Geografi.
Sungai merupakan badan air yang amat berharga bagi kehidupan manusia, untuk sumber air minum, keperluan domestik, bahkan untuk transportasi. Menurut Nursaini & Harahap (2022), sungai adalah ekosistem perairan yang rawan akan pencemaran. Sungai sebagai salah satu komponen lingkungan yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia termasuk untuk menunjang pembangunan perekonomian. Akan tetapi, sebagai akibat adanya peningkatan kegiatan pembangunan di berbagai bidang maka, baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempunyai dampak terhadap kerusakan lingkungan termasuk didalamnya pencemaran sungai.
Sungai Ciliwung adalah salah satu sungai besar yang melintasi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, dan Kota Jakarta. Sungai Ciliwung memiliki panjang DAS ±120 km dan luas daerah tangkapan air 387 km2 . Kegiatan pembangunan di sepanjang DAS Ciliwung dan pertambahan penduduk yang cukup tinggi menjadi faktor penurunan kualitas air. Perubahan penggunaan lahan, serta bertambahnya kawasan pemukiman di sekitar badan air juga berdampak terhadap masuknya polutan ke badan air. (Moersidik, dkk, 2015). Kondisi ini mengakibatkan Sungai Ciliwung tercemar karena menjadi tempat pembuangan limbah cair dan limbah padat dari kegiatan rumah tangga maupun industri.
Mikroplastik merupakan kontaminan utama di Sungai Ciliwung, dengan konsentrasi berkisar antara 320 hingga 741 partikel per liter dalam air dan 6560 hingga 10630 partikel per kilogram dalam sedimen. Polutan ini terutama berasal dari limbah plastik dan berkorelasi dengan kepadatan penduduk yang tinggi di sepanjang tepi sungai (Pratama et al., 2023).
Sungai Ciliwung telah lama telah terkenal mengenai polusi dan pencemaran air di dalamnya yang disebabkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dengan membuang sampah atau residu sisa hasil rumah tangga dan industri, baik rumahan, maupun industri perusahaan besar, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran yang sangat signifikan dan berdampak besar bagi keasrian dan kealamian dari ekosistem dan lingkungan sungai ciliwung. Saat ini pemantauan kualitas air sungai di wilayah DKI Jakarta dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, kegiatan pemantauan ini dilaksanakan dengan melakukan pengukuran di beberapa titik pantau secara in-situ dan pengambilan sampling air kemudian dibawa ke laboratorium (DLH Prov. DKI Jakarta, 2021).
Buruknya kondisi kualitas air di suatu sungai merupakan pengaruh yang disebabkan dari berbagai parameter dengan nilai tinggi yang melebihi baku mutu kualitas air sungai yang disyaratkan. Berikut ini adalah hasil analisis dari beberapa parameter hasil pengukuran secara online.
Suhu air adalah salah satu karakteristik yang penting dari sistem perairan dan mempengaruhi proses fisik, kimia, dan biologi serta atribut ekosistem perairan. Dari hasil analisa data rata-rata tahun di 3 stasiun yang berada di Sungai Ciliwung, diperoleh suhu sebagian besar berada di antara 27 - 31⁰C (Gambar 2). Rata-rata nilai suhu ini masih di atas baku mutu air sungai peruntukan Kelas 2 menurut PP No. 82 Tahun 2001. Di mana Kelas 2 membatasi suhu air di kisaran 22 – 28°C, dengan asumsi suhu normal air adalah 25⁰C. Rata-rata suhu tertinggi berada di Stasiun Pintu Air Manggarai pada tahun 2015, bahwa terjadinya suhu air yang tinggi dapat dikaitkan dengan laju aliran sungai yang rendah (Sinokrot et al., 2000). Sungai Ciliwung memiliki sifat cepat meluap pada musim hujan dan mengering di musim kemarau.
Perubahan penggunaan lahan, terutama urbanisasi dan perluasan kawasan perumahan, secara signifikan meningkatkan beban polutan di Sungai Ciliwung, seperti yang terlihat di Kota Depok. Daerah perkotaan dengan kepadatan penduduk tinggi dan permukaan kedap air yang luas menjadi sumber utama polusi sumber non-titik (NPS), lebih dominan dibandingkan daerah pedesaan atau pertanian (Shon et al., 2012; Meng et al., 2024). Pembangunan perkotaan di Depok telah menyebabkan peningkatan signifikan pada kawasan perumahan dan bangunan, sementara ruang hijau dan lahan pertanian terus berkurang, memperburuk pencemaran akibat berkurangnya filtrasi alami dan meningkatnya limpasan (Dewi et al., 2024).