Mohon tunggu...
Erny Kurnia
Erny Kurnia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seorang pembelajar komunikasi (media dan jurnalisme) di UGM

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pers dan Politik

14 November 2013   22:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:10 904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara soal demokrasi pasti pikiran kita secara spontan akan teringat pada negara adidaya Amerika. Amerika bisa disebut sebagai kiblat demokrasi dunia. Termasuk dalam hal pers, banyak orang yang secara mentah-mentah berasumsi pers di negara Amerika lebih baik dari Indonesia. Padahal seperti yang dibahas dalam buku When The Press Fail, pers di negara tersebut juga masih rawan diintervensi politik sebagaimana yang terjadi di Indonesia.

Salah satu bab yang menarik dalam buku When The Press Fail adalah bab pertama yang berjudul Press Politics in America. Pada bab tersebut dibahas bagaimana pemerintah Amerika --yang kala itu merupakan masa pemerintahan George W. Bush-- melakukan manipulasi isu perang Irak yang sedang terjadi. Mereka membuat peristiwa perang tersebut seolah-olah barang dagangan. Kasus tersebut antara lain adalah tuduhan adanya hubungan antara Irak dengan jaringan teroris Al-Qaeda. Amerika juga membangun skenario yang seakan-akan Saddam Hussein sebagai diktator di Irak memiliki hubungan dengan terorisme dunia ada kaitannya dengan penyerangan teroris di Amerika. Selain itu, Amerika juga menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal WMDs (Weapon of Mass Destruction). Akibat dari kasus yang dibangun oleh pemerintahan Bush tersebut membuat berita seputar perang Irak mudah ditemukan dalam berbagai surat kabar.

Singkat cerita, Amerika terjebak dalam satu situasi yang tidak menguntungkan dan justru independensi pers di Amerika dipertanyakan. Ternyata, pers di Amerika telah menyepakati satu aturan tidak tertulis dengan pemerintah Amerika. Hal ini tentu menyiderai pers yang seharusnya berfungsi sebagai watchdog pemerintah.

Membandingkan dengan kasus pers di Indonesia, pers Indonesia pun masih rawan intervensi politik. Terlebih pers televisi. Masih begitu banyak kepentingan politik menunggangi independensi pers di negeri ini. Akibatnya, perlahan masyarakat mulai menyangsikan informasi yang dilaporkan oleh wartawan. Atau kalau tidak, media cetak sejenis Tempo sering dipandang sinis oleh para aktor politik karena isi beritanya yang nylekit.

Melihat fenomena dimana pers yang seharusnya memang vokal dalam mengritisi suatu pemerintahan --tentunya berdasarkan bukti yang kredibel-- justru tidak menjalankan fungsinya sebagai watchdog sungguh kenyataan yang ironi. Terlebih lagi bila pers tersebut justru berisi berita yang sudah diatur oleh wartawan nakal yang tidak patuh kode etik. Akibatnya, berita yang muncul pun kurang tajam dan cenderung ngambang atau tidak tampak wacana yang sesungguhnya ingin disampaikan dari berita tersebut.

Mungkin bagi segelintir orang memaklumi karena seperti contoh pers di Amerika saja masih diintervensi oleh pemerintah, apalagi pers di Indonesia. Akan tetapi perlu usaha menjaga idealisme tinggi dari diri para jurnalis dan kekritisan komunikan yang dalam hal ini menerima berita meski pun hal  tersebut memang sangat sulit untuk direalisasikan.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun