Mohon tunggu...
Erniwati
Erniwati Mohon Tunggu... Penulis - ASN Yang Doyan Nulis Sambil Makan, Penyuluh Hukum Kanwil Kemenkum NTB

Traveling dan dunia tulis menulis adalah hal yang paling menyenangkan. Memberi manfaat kepada masyarakat melalui edukasi adalah hobby.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Bemo Menghilang: Efek Mudahnya Kredit Konsumtif Diakses

21 Januari 2025   07:45 Diperbarui: 21 Januari 2025   07:45 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bemo dan sejumlah angkutan publik lainnya tanpa kita sadari memamng mulai menghilang dari pemandangan keseharian kita. Tak bisa dipungkiri, eksistensinya telah tergerus zaman dan tak bisa melawan arus perubahan, terutama kecepatan mobilitas masyarakat sekarang ini.

Ah, rasanya terlalu melankolis kalimat saya di atas. Padahal aslinya saya hanya ingin membahas apa yang begitu jelas saya lihat di kepala saya, tentang bagaimana mudahnya maasyarakat memperoleh kredit konsumtif sehingga berdampak juga pada jenis kendaraan yang banyak digunakan.

Yah mau bagaimana lagi, namanya numpang angkutan publik dengan bawa kendaraan sendiri pastinya berbeda jauh ya. Jika begitu, mari kita bernostalgia sedikit tentang 10 sampai 17 tahun lalu.

Efektifitas Angkutan Publik Dan Kelebihan Kendaraan Pribadi

Jika bicara 10-17 tahun lalu, saya masih ingat betul setiap hari di pinggir-pinggir jalan pada titik tertentu akan ada pemandangan orang-orang berdiri menunggu datangnya bemo ataupun cidomo (cikar atau sejenis andong). Ataupun di sejumlah lokasi tertentu akan ada tempat mangkal tukang ojek yang khas dengan bapak-bapak berjaket.

Maklum, di Lombok saat itu angkutan publik sangat populer dan dibutuhkan dalam menunjang mobilitas masyarakat saat itu. Emak-emak yang dari jam 4-5 subuh sudah diangkut ke pasar, anak-anak SD, SMP dan SMA dari daerah pinggiran kota  yang diangkut ke wilayah yang jadi pusat pendidikan di ibukota provinsi.

Para pekerja pulang mudik di akhir pekan dengan ojek, atau banyak juga yang memanfaatkan engkel, sejenis bus lokal dengan kepulan asap yang khas dan bau ala angkutan publik antar kabupaten. Untuk yang terakhir ini selalu membuat saya mabuk darat, jujur.

Namun itu semua saya rasa tinggal nostalgia. Faktanya hari-hari ini bahkan bemo kuning sudah lenyap, hampir tak tersisa kecuali dibooking oleh ibu-ibu yang pergi ke pasar atau acara keluarga. Cidomo masih eksis namun tak sebanyak dulu, berganti dengan pick-up. Pun dengan tukang ojek di pangkalannya, sudah sepi.

Tak bisa dipungkiri memang, efektifitas angkutan publik untuk daerah tanpa macet seperti di Lombok seakan jadi tak penting. Kenapa? Karena tentu saja akan lebih cepat menggunakan kendaraan pribadi. Contoh saja, dulu pengusaha sayur kebanyakan naik bemo, udah janjian sama abang yang punya, sementara sekarang, cukum starter pick-up dan jalan, kapanpun mau pulang, tak perlu tunggu bemo mangkal dulu.

Sama juga dengan anak-anak sekolah khususnya yang sudah SMA, bawa motor sendiri akan lebih efektif, mengingat jam masuk sekolah tak boleh terlambat. Maklum, saya dulu harus bersabar kadang kalau bemonya mangkal nunggu penuh dulu baru jalan, padahal hati sudah dag dig dug takut telat.

Para Pekerja pun saat ini sudah banyak yang punya kendaraan sendiri, karena dirasa lebih fleksibel dalam hal waktu dan biaya. Ah bahkan emak-emak yang ke pasar sudah bisa sat set sat set bawa motor ke pasar, dengan barang belanjaan yang kadang menutupi depan motor, bahkan tak menyisakan jok belakang.

Realitanya, memang jika bicara efektifitas, tentu saja NTB lebih efektif dengan kendaraan pribadi. Secara, kita punya jalan bypass alias jalan tol gratis tak berbayar juga di sini. Macet pun tak ada, kalaupun macet, bisa dipastikan di wilayah tertentu dengan kondisi kendaraan masih bisa merayap, itupun tak terlalu lama, dan hanya di moment tertentu seperti akhir libur panjang atau malam tahun baru atau malam takbiran.

Mudahnya Kredit Konsumtif dari Lembaga Pembiayaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun