Mohon tunggu...
Erniwati
Erniwati Mohon Tunggu... Penulis - ASN Yang Doyan Nulis Sambil Makan, Humas Kanwil Kemenkumham NTB

Traveling dan dunia tulis menulis adalah hal yang paling menyenangkan. Memberi manfaat kepada masyarakat melalui edukasi adalah hobby.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Menyikapi Anak Remaja Perempuan agar Tak Bosan di Dekat Ibu

6 Oktober 2024   09:47 Diperbarui: 6 Oktober 2024   14:43 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pexels.com/Karolina Grabowska

Hasilnya saya pun mulai berpikir bahwa hal-hal yang dialami anak saya ini sebenarnya pernah saya alami semua ketika masa SMA dulu. Aturan yang membuat saya ingin lepas, kalimat pedas yang berisi nasihat (meskipun saya kadang saat itu benci mendengarnya) atau bentakan dan larangan yang membuat tertekan saat belajar.

Belum lagi harapan saya saat SMA tentang "padahal nasihat itu lebih meresap ketika disampaikan dengan kalimat halus". Mungkin itulah juga yang sebenarnya dirasakan oleh anak perempuan saya ini. Karakternya memang sensitif dan halus, lebih suka memendam dan mengalah kadang. Namun saya tahu dia tidak tinggal diam.

Di tahap itulah saya sadari bahwa saya harus mulai pasang strategi sebagai seorang ibu. Tentu saja saya tidak mau kehilangan peluk dan ciumnya meskipun ia mulai tumbuh remaja, saya juga tidak mau dianggap ibu yang menyebalkan apalagi tak memberi solusi, bahkan bukanlah tempat pulang dan bercerita.

Ibu, Bersikaplah Sesuai Situasi dan Kondisi

Dari banyak hal yang saya alami dengan si sulung, saya sadari bahwa seorang ibu harus bisa bersikap sesuai dengan situasi dan kondisi yang dirasakan anak. Dalam konteks jika tidak ingin bonding antara ibu dan anak ini hanya sekedar formalitas semata.

Banyak hari-hari ini saya perhatikan anak-anak yang ketika sudah beranjak remaja, tak lagi akrab dengan mencium ibundanya. Paling hanya salim dan cium tangan. Namun yang mencium pipi dan memeluk seakan barang langka.

Kadang menjadi orang tua, apalagi ibu memang punya segudang pikiran yang harus dikendalikan. Wajar, saking kompleksnya tugas seorang ibu, entah jadi guru untuk anak, entah jadi koki, entah jadi konseling pun jadi manajer keuangan rumah tangga.

Namun ternyata, bukan berarti kita bisa langsung mengatakan kepada si anak "ibu juga banyak urusan, banyak pikiran, punya masalah, capek dan bla bla bla" sebagai luapan emosi ketika si anak menghadapi suatu masalah.

Faktanya, anak-anak yang bertumbuh menuju remaja ini ternyata juga bingung harus bagaimana. Dari beberapa kejadian ketika si anak sulung saya ini duduk di kelas 1 SMA misalnya, saya akhirnya sadar bahwa mereka sedang mencari jati diri, dan kita seringkali lupa akan hal ini.

Contohnya, pernah suatu ketika ia sehabis maghrib mendekati saya dan tiba-tiba tidur di pangkuan saya sambil menangis. Dengan tenang saya biarkan dia menyelesaikan tangisnya dulu, baru kemudian saya tanya "Ada apa mbak sayang?"

Dengan serak dia pun bercerita, bahwa 3 orang sahabat baiknya menjauhi dirinya hanya karena ia tegur atas perilaku yang kurang baik. Katanya sudah 3 hari dirinya tak disapa dan diajak ngumpul bareng tiap jam istirahat. Dan ia pun mengungkapkan perasaan sedih dan kecewanya.

Setelah ia selesai bercerita, saya pun tau bahwa di situasi ini saya harus menempatkan diri menjadi ibunya sekaligus teman terbaiknya. Maka saya sampaikan padanya, bahwa jangankan manusia, Rasulullah yang sangat mulia saja ada yang tidak suka. Apalagi selevel manusia biasa seperti kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun