Mohon tunggu...
Erniwati
Erniwati Mohon Tunggu... Penulis - ASN Yang Doyan Nulis Sambil Makan, Humas Kanwil Kemenkumham NTB

Traveling dan dunia tulis menulis adalah hal yang paling menyenangkan. Memberi manfaat kepada masyarakat melalui edukasi adalah hobby.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Desa Wisata Sebagai Penggerak Ekonomi Kerakyatan dan Pelestarian Budaya Lokal

23 Juni 2024   08:15 Diperbarui: 23 Juni 2024   08:16 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : dokumentasi pribadi

Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke salah satu Desa Wisata yang ada di wilayah Lombok Tengah, namanya desa Bonjeruk yang terkenal dengan Pasar Bambu. Nah di tahun tahun sebelumnya saya juga pernah menginap dan liburan di desa wisata lain bernama Desa Wisata Tete Batu di Lombok Timur.

Ada hal menarik yang tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya kali ini. Tentang bagaimana desa-desa dengan inovasi wisata ini ternyata memiliki suatu keberlanjutan dari berbagai sisi. Mulai dari Ekonomi sampai sosial cultural yang lestari.

Ah, otak saya memang kadang rada random. Sesuatu begitu terlintas langsung diolah dan di petakan. Atau mungkin beberapa manusia seperti saya juga begitu. Lupakan tentang itu, mari kita bahas saja tentang desa wisata ini.

Desa Wisata Bonjeruk dan Pasar Bambunya

Awalnya saya pikir di sini hanya terkenal karena lokasi yang instagramable saja, namun ternyata perkiraan saya meleset. Bonjeruk, khususnya pasar bambu lebih dari itu. Suasana khas pedesaan yang Adem di bawah rumpun bambu dan model pasar tradisional jaman dulu langsung menyergap ke memori masa kecil saya.

Begitu masuk, driver kami yang aslinya orang Lombok Tengah langsung menjelaskan, bahwa di area Desa wisata ini ada beberapa tempat yang memang disulap menjadi lokasi pasar traditional. Sejumlah area ini juga sama, dirancang untuk menyediakan pemandangan ala kampung, dengan makanan khas dan budaya tradisional yang patut menjadi destinasi wisata kuliner.

Seperti salah satu tempat yang saya kunjungi ini, namanya Pasar Bambu. Begitu masuk, saya disambut pemandangan pedagang jajanan khas Lombok, persis seperti ketika saya masih kecil. Ada juga lapak soto dan kelapa muda, kemudian dapur khas sasak dengan jangkih (kompor dari tanah liat) yang berbahan bakar kayu.

Jangan bayangkan tempatnya dengan papin blok, karena memang kearifan lokal budayanya justru di tonjolkan di sini. Seluruh pelayan dan koordinator merupakan masyarakat setempat khususnya para anak muda. Mereka menyambut para pengunjung dan melayani dengan mengenakan pakaian adat Lambung khas Lombok.

Sejumlah berugak (balai-balai) segiempat dari bambu menjadi ciri khas tempat makannya, ditambah dengan tumbuhan bambu khas perkampungan Lombok jaman dulu, serasa kembali ke masa lalu. Masa di mana saya bermain di antara rumpunnya bambu-bambu besar di desa Nenek saya.

Sejumlah menu khas Lombok seperti Ayam panggang dengan sambal yang disirami minyak jelengan (minyak kelapa murni yang dibuat sendiri untuk masak oleh masyarakat Lombok), kopi Lombok, ikan nila goreng, ayam penget goreng dan beberok khas Lombok. Selain itu, kendi dari tanah liat alias gerabah juga menjadi salah satu ciri khasnya.

Sumber : dokumentasi pribadi
Sumber : dokumentasi pribadi

Proses pemasakan ayamnya juga dilakukan dengan motede pemasakan traditional, dipanggang dengan jangkih (kompor tanah liat dan kayu bakar), ayamnya pakai ayam kampung yang empuk dan segar. Dijamin bikin ketagihan.

Jujur, bau sedap minyak kelapa ini yang bikin perut tambah lapar dan otak jadi kembali ke masa lalu. Belum lagi habis makan hidangan utama, bisa mencicipi jajanan sasak seperi kelepon dari ubi ungu dan ada juga dari ketan, cerorot, kue lupis dan ontal antil dengan kelapa parut dan gula merahnya.

Sumber : dokumentasi pribadi
Sumber : dokumentasi pribadi

Oh ada juga urap yang terbuat dari sayur. Urap merupakan makanan khas Lombok yang terdiri dari campuran aneka sayur yang dipotong setelah direbus, kemudian di taburi dengan kelapa parut yang telah diberi bumbu. Tak jarang juga diberi siraman kuah santan yang lezat.

Penggerak Ekonomi Kerakyatan

Bicara soal ekonomi kerakyatan, saya sangat setuju jika dikatakan ini adalah salah satu metode yang pas dan paling mudah. Model desa wisata yang tetap menjaga kearifan budaya lokalnya, dan menggunakan sumber daya manusia setempat sebagai pekerjanya.

Selain itu, model desa wisata seperti ini juga mampu menyerap tenaga kerja lokal setempat, dalam rangka memajukan perekonomian masyarakatnya. Artinya, model ini akan menjadikan prinsip dari masyarakat untuk masyarakat itu sendiri.

Tak hanya itu, desa wisata ini juga memanfaatkan kemajuan teknologi dalam melakukan kegiatan pelayanannya. Seperti yang saya lihat ketika berkunjung ke sana. Saya perhatikan para pemuda yang berada di lokasi Pasar Bambu misalnya, mereka sudah menggunakan HT (handy talk) untuk berkomunikasi ketika ada pengunjung yang datang atau terkait dengan pesanan.

Selain itu, metode pembayaran yang disediakan juga tidak hanya cash atau tunai, namun juga dengan digital melalui Qris atau mesin EDC. Hal ini mereka lakukan demi memberikan kemudahan dan kenyamanan kepada para pengunjung yang datang.

Prinsip melayani juga sangat terlihat di sini. Pasalnya fasilitas seperti kamar mandi yang bersih dan mushala untuk shalat pun tersedia dalam kondisi bersih dan rapi. Dalam pikiran saya, meskipun mereka mengusung kearifan budaya lokal, namun mereka sangat terbuka terhadap perubahan, khususnya kemajuan teknologi dan perkembangan dunia pariwisata.

Sebenarnya desa wisata Bonjeruk bukanlah satu-satunya desa yang mengusung konsep desa wisata dengan budaya lokalnya. Di Lombok ada juga beberapa desa seperti Desa wisata Tete Batu dengan sejumlah destinasi wisata yang memanjakan mata, ataupun Desa Sade yang terkenal dengan rumah adat dan kerajinan tenun khasnya.

Masing-masing dari desa ini juga menerapkan mekanisme yang sama, yaitu menyelenggarakan pelayanan desa wisata yang menonjolkan kearifan budaya lokal setempat. Pun tetap di prioritaskan menggunakan SDM yang berasal dari masyarakat desa setempat. Pastinya. masing-masing juga punya sejumlah kekurangan dan kelebihan.

Yang ingin saya garisbawahi betul adalah, bahwa konsep desa wisata seperti ini sangat baik untuk menggerakkan perekonomian berbasis kerakyatan. Hal ini juga secara tidak langsung dapat meminimalisir tindak kriminalitas akibat pengangguran dan kesenjangan perekonomian di suatu desa. 

Tentu saja dengan minimnya kriminalitas, keamanan dan ketertiban akan terjamin dengan baik, sehingga stabilitas kehidupan dan penghidupan warganya pun bisa lebih baik. Siapa sangka apabila ada investor yang ingin masuk, justru akan sangat menguntungkan, karena memang selain punya potensi, juga di dukung oleh keamanan yang memadai.

Bayangkan saja apabila tiap-tiap desa bisa kreatif dalam mengelola sumber daya alam dan Sumber daya manusia yang dimilikinya, pastilah angka kesenjangan dan kejadian kriminalitas bisa terus menurun. Tidak ada lagi prahara kurang lapangan pekerjaan, atau prahara Sumber Daya Alam yang nganggur.

Pelestarian Budaya Lokal

Berangkat dari konsep-konsep desa wisata tadi, tentunya sebagai warga Lokal Lombok khususnya, saya pribadi sangat bangga dengan bentuk pelestarian budaya lokal ini.

Pasalnya, saya juga tidak ingin berbaga bentuk jejak memori masa kecil saya harus hilang begitu saja. Suasana kampung penuh hutan bambu besar, jalanan tanah yang tersiram hujan, atau tampilan para orang tua jaman dulu dengan sarung dan topi jeraminya. Pun dengan ibu-ibu yang berbaju lambung.

Bahkan ketika makan, saya tetap sangat menyukai gerabah sebagai wadahnya. Minum dari ceret tanah liat yang sangat menyegarkan. Atau bau minyak jelengan khas yang tak ada duanya. Pun dengan enaknya ayam kampung bakar dan wadah nasi dari rotan itu.

Untuk orang-orang seperti saya dan jutaan pekerja kantoran lainnya, desa wisata merupakan salah satu tempat refreshing dan healing. Sejujurnya, bisingnya kota selalu membuat kami mencari lokasi-lokasi dengan budayanya seperti desa wisata ini.

Hamparan sawah semakin berkurang, perkembangan teknologi pun tak jarang menggeser kearifan lokal. Lalu bagaimana dengan anak cucu kita nanti jika pelestarian budaya lokal ini tak mendapat cukup support atau dukungan/

Ah, semoga saja semakin banyak desa-desa lain yang sadar akan hal ini. Agar generasi berikutnya dan yang akan datang bisa menikmati indahnya perkampungan, dan merasakan sedikit pengalaman masa kecil yang berbau budaya lokal ini.

*Tulisan ini juga saya terbitkan di situs gumilombok9.com dengan judul "Desa Wisata Bonjeruk, Bentuk Pelestarian Kearifan Budaya Lokal". Saya mencintai Lombok, di sini seperti surga wisata yang tak ada habisnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun