Mohon tunggu...
Erniwati
Erniwati Mohon Tunggu... Penulis - ASN Yang Doyan Nulis Sambil Makan, Humas Kanwil Kemenkumham NTB

Traveling dan dunia tulis menulis adalah hal yang paling menyenangkan. Memberi manfaat kepada masyarakat melalui edukasi adalah hobby.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Desa Wisata Sebagai Penggerak Ekonomi Kerakyatan dan Pelestarian Budaya Lokal

23 Juni 2024   08:15 Diperbarui: 23 Juni 2024   08:16 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : dokumentasi pribadi

Proses pemasakan ayamnya juga dilakukan dengan motede pemasakan traditional, dipanggang dengan jangkih (kompor tanah liat dan kayu bakar), ayamnya pakai ayam kampung yang empuk dan segar. Dijamin bikin ketagihan.

Jujur, bau sedap minyak kelapa ini yang bikin perut tambah lapar dan otak jadi kembali ke masa lalu. Belum lagi habis makan hidangan utama, bisa mencicipi jajanan sasak seperi kelepon dari ubi ungu dan ada juga dari ketan, cerorot, kue lupis dan ontal antil dengan kelapa parut dan gula merahnya.

Sumber : dokumentasi pribadi
Sumber : dokumentasi pribadi

Oh ada juga urap yang terbuat dari sayur. Urap merupakan makanan khas Lombok yang terdiri dari campuran aneka sayur yang dipotong setelah direbus, kemudian di taburi dengan kelapa parut yang telah diberi bumbu. Tak jarang juga diberi siraman kuah santan yang lezat.

Penggerak Ekonomi Kerakyatan

Bicara soal ekonomi kerakyatan, saya sangat setuju jika dikatakan ini adalah salah satu metode yang pas dan paling mudah. Model desa wisata yang tetap menjaga kearifan budaya lokalnya, dan menggunakan sumber daya manusia setempat sebagai pekerjanya.

Selain itu, model desa wisata seperti ini juga mampu menyerap tenaga kerja lokal setempat, dalam rangka memajukan perekonomian masyarakatnya. Artinya, model ini akan menjadikan prinsip dari masyarakat untuk masyarakat itu sendiri.

Tak hanya itu, desa wisata ini juga memanfaatkan kemajuan teknologi dalam melakukan kegiatan pelayanannya. Seperti yang saya lihat ketika berkunjung ke sana. Saya perhatikan para pemuda yang berada di lokasi Pasar Bambu misalnya, mereka sudah menggunakan HT (handy talk) untuk berkomunikasi ketika ada pengunjung yang datang atau terkait dengan pesanan.

Selain itu, metode pembayaran yang disediakan juga tidak hanya cash atau tunai, namun juga dengan digital melalui Qris atau mesin EDC. Hal ini mereka lakukan demi memberikan kemudahan dan kenyamanan kepada para pengunjung yang datang.

Prinsip melayani juga sangat terlihat di sini. Pasalnya fasilitas seperti kamar mandi yang bersih dan mushala untuk shalat pun tersedia dalam kondisi bersih dan rapi. Dalam pikiran saya, meskipun mereka mengusung kearifan budaya lokal, namun mereka sangat terbuka terhadap perubahan, khususnya kemajuan teknologi dan perkembangan dunia pariwisata.

Sebenarnya desa wisata Bonjeruk bukanlah satu-satunya desa yang mengusung konsep desa wisata dengan budaya lokalnya. Di Lombok ada juga beberapa desa seperti Desa wisata Tete Batu dengan sejumlah destinasi wisata yang memanjakan mata, ataupun Desa Sade yang terkenal dengan rumah adat dan kerajinan tenun khasnya.

Masing-masing dari desa ini juga menerapkan mekanisme yang sama, yaitu menyelenggarakan pelayanan desa wisata yang menonjolkan kearifan budaya lokal setempat. Pun tetap di prioritaskan menggunakan SDM yang berasal dari masyarakat desa setempat. Pastinya. masing-masing juga punya sejumlah kekurangan dan kelebihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun