Mohon tunggu...
Erniwati
Erniwati Mohon Tunggu... Penulis - ASN Yang Doyan Nulis Sambil Makan, Humas Kanwil Kemenkumham NTB

Traveling dan dunia tulis menulis adalah hal yang paling menyenangkan. Memberi manfaat kepada masyarakat melalui edukasi adalah hobby.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Menyikapi Hobi Main dan Kecerdasan Emosi Anak Laki-Laki

12 Mei 2024   10:36 Diperbarui: 12 Mei 2024   11:08 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Depositphotos

Mukadimah dulu nih, jujur masih ingin lanjut dengan tulisan kemarin berjudul ' Tips Berkomunikasi yang baik dengan anak laki-laki,'. Bukan apa-apa, karena saat tulisan ini dibuat, lagi kangen si Bontot yang baru 10 jam lalu pamit menginap di rumah neneknya.

Anak laki-laki memang tak ada habisnya menguras emosi, begitu kira-kira gambaran awalnya dari para orang tua kebanyakan. Sambil duduk di rest area sebuah arena permainan anak, dengan sebotol air mineral dan sekantong pop corn rasa keju. Entah kenapa otak saya mengingat tentang Nobita, salah satu tokoh utama pendamping Doraemon.

Bukan tanpa sebab saya dengan mudah mengingat tokoh kartun yang satu ini, sedari kecil saya memang sangat menyukai kartun Doraemon. Saya suka persahabatan mereka yang begitu natural. Nobita yang selalu dapat nilai ulangan Nol dan Doraemon yang selalu siap sedia dengan Kantong ajaibnya.


Dulu ketika masih duduk di bangku SMP setiap hari Minggu adalah hari wajib saya nonton Doraemon. Dalam pikiran anak-anak menuju usia remaja saya saat itu, seringkali saya kesal dengan tokoh Nobita ini. Pasalnya apa pun masalahnya selalu lari ke Doraemon, seakan dialah problem solving dalam hidupnya Nobita.

Apalagi Nobita selalu kena omelan ibu ketika nilai ulangan selalu saja Nol. Saya selalu bertanya-tanya, apa saja sih kerjanya Nobita ini, masa ga ada satu pun materi pelajaran yang nyantol di Kepalanya? Sampai-sampai selalu dapat nilai Nol?

Nobita, Tokoh Malas Belajar dan Doyan Main, Namun Berhati Lembut.

Bagi sebagian besar anak-anak kekinian, Doraemon mungkin bukanlah film kartun yang terlalu menarik perhatian. Apalagi jika dibandingkan dengan maraknya penggunaan gadget bagi anak hari-hari ini. Jelas kalah dengan ML atau FF malah. Namun bagi sebagian orang yang masa kecilnya hingga hari ini masih mencintai Doraemon, saya yakin sama seperti saya, kita akan menontonnya di saat luang.


Salah satu tokoh yang paling menonjol di samping Doraemon adalah Nobita. Nobita ini adalah anak SD yang dalam setiap episodenya hampir selalu kena bully dari Giant dan Suneo. Di samping selalu kena marah Ibu karena nilai ulangan yang selalu Nol.

Kenapa Nol melulu? Karena memang dalam tiap episodenya Nobita lebih suka pergi main atau tidur siang. Sebenarnya lucu juga jika mengingat nobita pakai kacamata, di saat kacamata identik dengan bocah jenius atau pintar, justru yang satu ini sebaliknya.
Seringkali karena kemalasannya, Nobita ini sampai harus di marahi pak Guru, entah gegara tidak mengerjakan PR atau nilai yang selalu buruk. 

Namun Nobita tidak pernah bersikap keras, selalu mengakui kesalahan dan tetap saja pergi main jika ada kesempatan. Pun ketika dia sering dikerjai atau dibully oleh tokoh Suneo dan Giant, di mana kadang Nobita harus dipukuli atau dipaksa mendengarkan konser 'mengerikan' ala Giant, dia tetap saja tak bisa melawan. Lemah!


Namun ada yang melekat di hati saya tentang Nobita, dia adalah anak yang berhati lembut. Buktinya, meskipun di setiap episode dia dibully, dikerjai, dimarahi, namun tak pernah dendam. Bahkan dalam beberapa episode dialah perekat persahabatan antara semua tokoh sekolah itu.

Nobita sangat perasa bahkan terhadap binatang sekalipun. Tak jarang dia rela berkorban dengan mencicipi masakan Jaiko (adiknya Giant) yang jelas-jelas tidak enak, hanya karena kasihan. Atau ketika di satu episode dia sadar bahwa dengan nilai yang jelek dia hanya akan membuat Shizuka sengsara jika menikah dengannya nanti, lalu akhirnya Nobita menjauh dari Shizuka.

Anak Laki-laki Memang Cinta Main

Iya, tidak salah lagi. Anak laki-laki memang cinta main. Saya bisa buktikan itu dengan pengalaman tahun-tahun panjang di mana saya tumbuh dengan dua orang adik laki-laki yang sekarang sudah menikah semua. Ataupun dengan anak laki-laki saya yang paling bontot, saat ini dia baru 7 tahun alias kelas satu SD.
Seperti yang saya ceritakan dalam tulisan saya yang terdahulu dengan Judul Membangun Komunikasi yang Baik Dengan Anak Laki-Laki, memang otak anak laki-laki sebelum 18 Tahun cuma isinya main dan main lagi.

Tidak bisa dipaksakan, mungkin inilah yang disebut kodratnya. Sehingga tak heran jika kita menemukan banyak fakta lapangan bahwa prestasi akademik anak laki-laki di bawah anak perempuan. Atau jika pun ada yang memang bagus prestasi akademiknya, bisa dikatakan satu di antara sekian.

Kecerdasan Emosional

Kadang kita lebih banyak fokus pada kecerdasan akademik semata, sehingga banyak orang tua suka sekali ngomelin anak laki-lakinya saat nilai nya di bawah rata-rata. Akhirnya, banyak kasus anak laki-laki ini justru malas di rumah, seakan pulang akan menambah beban di kepalanya. Seakan bertemu ibu atau ayah adalah moment menyebalkan karena akan mendapatkan komentar yang sama, 'kok nilainya jelek' atau 'mau jadi apa kamu?'

Bapak ibu please, saya meskipun perempuan pernah merasakan tekanan itu, padahal rangking kelas dari SD sampai SMA selalu 1 sampai 5. Apalagi kita memberikan tekanan tuntutan akademik itu kepada seorang anak laki-laki yang jelas-jelas para psikolog mengatakan bahwa 'otak anak laki-laki itu memang main sebelum 18 tahun'.

Tidak sadarkah kita, di samping sekadar nilai akademik, ada kecerdasan emosional yang sebenarnya lebih banyak dimiliki anak laki-laki ini?


Seperti yang saya alami sendiri, si bontot usia 7 tahun baru kelas 1 SD di mana dia sangat suka berhitung namun paling malas disuruh menulis. Berhitung dan membaca adalah favoritnya, tapi menulis sebaris kalimat bisa berjam-jam lamanya hingga kadang saya ngantuk dan akhirnya cuma pasrah.


Pernah suatu ketika gurunya curhat pada saya dan menyampaikan, 'bu anaknya cepat sekali kalau berhitung, tapi kalau sudah tiba waktu menulis di kelas, dia malah berkeliaran ke meja-meja temannya untuk ngajarin mereka tulisan yang bener'.


Saat mendengar itu saya sebenarnya ketawa sendiri, membayangkan si bontot ini seperti pengawas kelas, padahal tugasnya sendiri belum selesai. Atau ketika pulang sekolah dia curhat diomelin bu guru karena PR menulis belum jadi, saya hanya tersenyum dan bilang 'risiko ga mengerjakan tugas'

Namun dibalik hal itu, ternyata ada cerita yang luar biasa menggugah hati saya sebagai seorang ibu. Petugas sekolahnya yang kebetulan perempuan, berterus terang ketika saya akan memindahkan mereka sekolah.


Beliau mengatakan, bahwa setiap pagi anak saya ini akan membawakan mbah (panggilan petugas sekolah itu) sebiji buah jeruk, kemudian ketika jam istirahat akan memijit pundaknya dengan semangat. 'Siapa lagi yang akan menemani saya bercerita sambil memijit pundak saya kalau hafidz pindah?' komentarnya.

Atau ketika teman-temannya mengalami kesulitan, ia akan langsung menawarkan bantuan. Bahkan saat di pukul anak perempuan, dia cenderung tak melawan karena takut melukai temannya. Pun dengan bu guru yang selalu disebutnya 'monster' itu, ketika beliau habis operasi, dia minta untuk ditemani menjenguk ke rumahnya.

Kemampuannya untuk memahami perasaan orang lain, berempati, mudah memaafkan, mau membantu tanpa diminta ini yang sangat berharga menurut saya.  Itu yang membuat saya tidak ingin merusak kecerdasan emosi yang sedang tumbuh ini, dengan kecemasan bahwa mereka tidak akan sukses.

Mereka Akan Sukses Pada Waktunya

Belajar lagi dari cerita kartun Doraemon versi movie yang berjudul 'Stand By You', di mana akhirnya Nobita pun menikah dengan Shizuka. Pastinya saat itu Nobita sudah punya pekerjaan dan rumah sendiri.


Begitupun dengan anak laki-laki kita, biarlah seperti kata Dokter Aisyah Dahlan setelah 18 tahun otak mereka akan mulai berpikir serius. Jangan dipaksakan sekarang, karena akan merusak bounding antara mereka dan kita sebagai orang tua.


Biarlah saat ini kita mendampingi tumbuh kembang mereka sesuai umurnya, menemani bermain, menjawab pertanyaannya, mendengarkan ceritanya, menghadapi pemandangan rumah bak kapal pecah setiap harinya atau menghadapi sedikit kecemasan saat mereka izin bermain selama berjam-jam.

Yang perlu kita perhatikan menurut saya, belajar lagi parenting dan cari referensi tentang psikologi mereka. Arahkan mereka sesuai usianya, berikan moment terbaik yang akan mereka kenang tentang kita saat mereka masih senang bermain. Tentu saja bukan membiarkan mereka tanpa diajari tanggung jawab. 

Saya pribadi di rumah sangat tegas terkait tanggung jawab yang memang sesuai usianya. Tidak ada uang jajan ke sekolah sampai kelas 4 SD, wajib bawa bekal. Tidak ada baju kotor di atas kasur atau tidak ada yang boleh tidur sebelum selesai beberes mainan dan gosok gigi.


Pun dengan pondasi utama yaitu agama, Salat 5 waktu meskipun secepat kilat dikerjakan, kewajiban mengaji sesuai jadwalnya, mengerjakan PR dari sekolah, dan kewajiban lain. Tentunya dengan penjelasan yang mudah mereka mengerti tentang keharusan itu sendiri.


Terakhir, semoga sedikit tulisan saya ini dapat menjadi sharing pengalaman parenting yang akan membuat kita dikenang sebagai orang tua yang tegas tapi menyenangkan. Saya pribadi tak ingin moment ketika si bontot mencium saya di berbagai kesempatan, bahkan ketika saya sedang shalat ini cepat berlalu.


Bukankah tak ada orang tua yang mau dijauhi anak laki-lakinya sendiri, terkhusus seorang ibu?


*Kutuliskan sambil senyum sendiri mengingat tingkahnya saat pulang bermain.Tulisan ini juga sudah terbit di Kumparan.com dengan judul yang sama. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun