Mohon tunggu...
Erniwati
Erniwati Mohon Tunggu... Penulis - ASN Yang Doyan Nulis Sambil Makan, Humas Kanwil Kemenkumham NTB

Traveling dan dunia tulis menulis adalah hal yang paling menyenangkan. Memberi manfaat kepada masyarakat melalui edukasi adalah hobby.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Menyikapi Hobi Main dan Kecerdasan Emosi Anak Laki-Laki

12 Mei 2024   10:36 Diperbarui: 12 Mei 2024   11:08 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Atau ketika teman-temannya mengalami kesulitan, ia akan langsung menawarkan bantuan. Bahkan saat di pukul anak perempuan, dia cenderung tak melawan karena takut melukai temannya. Pun dengan bu guru yang selalu disebutnya 'monster' itu, ketika beliau habis operasi, dia minta untuk ditemani menjenguk ke rumahnya.

Kemampuannya untuk memahami perasaan orang lain, berempati, mudah memaafkan, mau membantu tanpa diminta ini yang sangat berharga menurut saya.  Itu yang membuat saya tidak ingin merusak kecerdasan emosi yang sedang tumbuh ini, dengan kecemasan bahwa mereka tidak akan sukses.

Mereka Akan Sukses Pada Waktunya

Belajar lagi dari cerita kartun Doraemon versi movie yang berjudul 'Stand By You', di mana akhirnya Nobita pun menikah dengan Shizuka. Pastinya saat itu Nobita sudah punya pekerjaan dan rumah sendiri.


Begitupun dengan anak laki-laki kita, biarlah seperti kata Dokter Aisyah Dahlan setelah 18 tahun otak mereka akan mulai berpikir serius. Jangan dipaksakan sekarang, karena akan merusak bounding antara mereka dan kita sebagai orang tua.


Biarlah saat ini kita mendampingi tumbuh kembang mereka sesuai umurnya, menemani bermain, menjawab pertanyaannya, mendengarkan ceritanya, menghadapi pemandangan rumah bak kapal pecah setiap harinya atau menghadapi sedikit kecemasan saat mereka izin bermain selama berjam-jam.

Yang perlu kita perhatikan menurut saya, belajar lagi parenting dan cari referensi tentang psikologi mereka. Arahkan mereka sesuai usianya, berikan moment terbaik yang akan mereka kenang tentang kita saat mereka masih senang bermain. Tentu saja bukan membiarkan mereka tanpa diajari tanggung jawab. 

Saya pribadi di rumah sangat tegas terkait tanggung jawab yang memang sesuai usianya. Tidak ada uang jajan ke sekolah sampai kelas 4 SD, wajib bawa bekal. Tidak ada baju kotor di atas kasur atau tidak ada yang boleh tidur sebelum selesai beberes mainan dan gosok gigi.


Pun dengan pondasi utama yaitu agama, Salat 5 waktu meskipun secepat kilat dikerjakan, kewajiban mengaji sesuai jadwalnya, mengerjakan PR dari sekolah, dan kewajiban lain. Tentunya dengan penjelasan yang mudah mereka mengerti tentang keharusan itu sendiri.


Terakhir, semoga sedikit tulisan saya ini dapat menjadi sharing pengalaman parenting yang akan membuat kita dikenang sebagai orang tua yang tegas tapi menyenangkan. Saya pribadi tak ingin moment ketika si bontot mencium saya di berbagai kesempatan, bahkan ketika saya sedang shalat ini cepat berlalu.


Bukankah tak ada orang tua yang mau dijauhi anak laki-lakinya sendiri, terkhusus seorang ibu?


*Kutuliskan sambil senyum sendiri mengingat tingkahnya saat pulang bermain.Tulisan ini juga sudah terbit di Kumparan.com dengan judul yang sama. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun