Mohon tunggu...
Erni Wardhani
Erni Wardhani Mohon Tunggu... Guru - Guru, penulis konten kreator (Youtube, Tiktok), EO

Guru SMKN I Cianjur, Tiktok, Youtube, Facebook: Erni Wardhani Instagram: Erni Berkata dan Erni Wardhani. Selain itu, saya adalah seorang EO, Koordinator diklat kepala perpustakaan se-Indonesia, sekretaris bidang pendidikan Jabar Bergerak Provinsi, Pengurus Komunitas Pengajar Penulis Jawa Barat, Pengurus Komunitas Pegiat Literasi Jawa Barat, Pengurus IGI kabupaten Cianjur, sekretaris Forum Kabupaten Cianjur Sehat, Founder Indonesia Berbagi, Tim pengembang Pendidikan Kantor Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VI Provinsi Jawa Barat, Humas KPAID Kabupaten Cianjur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

45 Kompasianer Semangat Menimba Ilmu Menulis di TMII dan Mengunjungi Pulau Maju

10 Agustus 2019   13:48 Diperbarui: 10 Agustus 2019   14:34 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Menginap di Taman Mini ... ditambah dapat ilmu menulis, ah! Tak tanggung-tanggung. Bidang fiksi, Medsos-digital dan Ekonomi. Lanjutannya, makan gratis, dapat hadiah pula. Alamaak. 

Serasa ketiban durian runtuh. Bayangkan, baik benar Click dan PPI ini,  ya? Padahal, hari-hari akhir, bisa juga tercyduk sebagai peserta dari luar kota. Tiba dari Cianjur, Terminal Kampung Rambutan dan dilanjut masuk lewat Pintu Utama TMII. Meski rada terlambat -- karena harus mengajar dulu, euy. (Walau bagamaina pun, kewajiban harus dilaksanakan dulu, Kan?) Setidaknya, dikenai sanksi? Eh, malah langsung diganjar untuk makan. Dengan lauk, mengingat Tanah Sunda: sayur dan ada sambal. Rizekii wanita salehah. Gak gak gak!

Sesi Pertama yang Seksi

Asli! Ini passion saya. Seksi. Sebab, saya guru bahasa Indonesia, dan Mbak Fanny Jonathans menggelar ilmu menulis cerpen. Klop. Dengan suaranya yang berat, (mengingatkan saya kepada seorang penyanyi Jazz wanita ternama), putri Sang Guru-nya Gerson Poyk ini menuturkan. Perihal proses kreatifnya yang sungguh-sungguh dalam menggali sebuah tema untuk cerita pendeknya. Meski kadang menggiris cerita yang dituliskannya. Tentang pelacur, anak jalanan, sopir angkot sampai ia merelakan uang honornya kepada sopir Metro Mini. Semuanya humanis.

Dokpri
Dokpri
"Sayangnya, ada peserta pelatihan penulisan saya guru bahasa Indonesia, yang masih menggunakan ejaan salah. Tidak  bisa membedakan di-ke-dari, masih disambung untuk menunjukkan kata tempat. Saya heran, bingung!" tandas wanita berambut keriting berdarah NTT itu.

Aduh. Nohok betul,  tapi bukan saya! Saya sudah menulis novel, kumpulan cerita dan puisi. Ya, diganjar pula sebagai pemenang, salah satunya oleh Balai Bahasa Jawa Barat pula. Bagaimana mungkin mengajarkan hal mendasar dalam berbahasa yang salah? Apa kata peserta didik? Meski  saya mengacungkan jari untuk bertanya. Walau yang ditunjuk Mugi, sama-sama dari Sunda. Ia dari Bandung saya dari penghasil tauco dan beras  cianjur. Apa beda karya sastra dan pop? Dijawab Mbak Fanny dengan elegan. Karya sastra ditulis tidak main-main. Ada muatan tentang kehidupan. Dicecap hingga tulang sungsum hidup. Diambil rohnya.  "Berbeda dengan pop, sifatnya hanya cerita yang menghibur. Hal-hal glamour. Senang-senang. Selesai," ungkapnya mantap.

Sesi Kedua: Isjet

Isjet atawa punggawa COO Kompasiana (2017) ini, setidaknya sudah lebih dua kali bertemu dan ia mengenalku. Pertama saat mengikuti pelatihan menulis di UNJ. Kedua, termasuk di Kompasianival di Lippo Kemang, Jakarta Selatan. Iskandar Zulkarnaen menguak tabir dalam menulis di dunia blogger era digital kini yang menggelontor. Bagaimana mesti pandai-pandai meniti buih, aih! "Kadang kita mesti pandai memilih. Meski ada undangan berbayar, namun kalau diundang acara serupa dengan nara sumber sekelas Menteri, kalau saya ya pilih yang ini," ucap pekerja media Republika dan jebolan Ponpes Modern Darussalam, Gontor ini.
Membranding diri, perlu. Agar tidak menjadi penulis di dunia medsos yang bermarwah. Mengingat institusi umumnya membutuhkan branding yang kian ketat di era digital. Banyak yang dipaparkan Bang Isjet. Perbandingan dan perkembangan serta ceruk-ceruk mesti disiasati secara cerdik. "Saya kasih petunjuknya di sini. Gratis," tambahnya. Baik bener.  

Dokpri
Dokpri
Nah, Bang Isson Sesi Ketiga

Lelaki yang tinggi badannya beda tipis tipis dengan saya ini,  sudah berulangkali ke Cianjur. Bukan apa-apa. Ia memberi materi menulis kreatif. Termasuk menyinggung fiksi, dengan contoh yang masih saya ingat: Pelajaran Mengarangnya Seno Gumira Adjidarma yang menang dalam kategori Cerpen KOMPAS Terbaik. (Saya faham, tentu. Kan guru bahasa Indonesia yang baik). "Menulis ekonomi jangan dibuat rumit. Banyak, dan hampir semuanya mengait. Bisa apa saja. Ekonomi makro, misalnya," kata Bang Isson.

Dengan runtut dan intonasi yang terjaga perihal ekonomi, dia salurkan di ruang Graha Wisata kepada 45 orang Kompasianer , blogger dan vloger.  Asli, bahasanya bagus. Saya pikir, uraian dan paparan Bang Isson melenakan peserta setelah habis Ishoma Maghrib. Karena serangan malas dihajar perjalanan panjang saya dari Cianjur -- yang melewatkan acara di Cisarua hajatan itu -- terobati. Jika pun seorang guru bahasa Indonesia bergumul dengan sastra dan sejenisnya, selayaknya bisa menuliskan hal-hal keekonomian yang ada di sekitar. Contoh bahwa kita, blogger bisa menulis kredit di Pasar Beringharjo, Jogja yang ditangkap oleh BCA, cerita Bang Isson. Dan disambung tanya oleh Bu Maria G Soemitro tentang Pasar Ciroyom Bandung. Indahnya. Tersambung.

Tiga jawara dengan kapasitasnya masing-masing, jelas nilai jual tinggi bagi kami yang ingin berlabuh pada "ilmu-ilmu" di sekitar era media kini. Karena, kami berangkat bukan seperti Mbak Fanny, Bang Isjet dan Bang Isson yang sudah berkecimpung di dunia media mainstream. Yang punya kode etik dan perjalanan. Bahwa, istilah Bang Isson, pengalaman tidak bisa dibohongi. Tidak bisa ditukar.

Sesi kiat-kiat penulisan ini sungguh sebuah tambahan bagi saya dari daerah. Setiap acara serupa, serasa ada yang baru. Mengingat pematerinya memang menguasai masalah. Tak salah jika apa yang digelar Click Kompasiana dan PPI sebuah oase bagi kami -- terutama yang tergabung sebagai Kompasianer -- di sela-sela sempit waktu bagiku, yang ingin terus belajar. Termasuk yang secara kelakar dipaparkan Mas Yon -- yang senang benar dengan jati dirinya seorang duda, hahaha.

Ah, malam itu, walaupun sempat dibuat sedikit deg-degan akibat adanya gempa sebesar 7,4 skala richter, akhirnya bisa nyenyak juga di tempat tidur susun. Apalagi pada sesi akhir seminar, berhasil menggondol hadiah dari Panitia, (Mbak Muthiah), saya terpilih sebagai salah satu pemenang lomba menulis dadakan. Lumayan, cring. Dibayar tunai.

Ke Pulau Elit

Subuh tiba. Selain terbiasa bangun pagi dengan cuaca yang tergolong ekstrim di daerah puncak,  saya berani mandi subuh.  Biasa wae, lah, nu kieu mah, cincai. Lantas bergegas  dari lantai atas setelah mengenakan jilbab, turun, bergerombol, dan sedikit ada acara bincang santai, lalu  sarapan sehat untuk siap-siap ke Pulau Maju. Belum mengerti acaranya seperti apa di sana. 

"Aku di mobil mana?" Ternyata, semobil dengan Bang Isson dan Mbak Alissa Koraaq. Mereka satu kampus, ternyata. Sehingga ngobrolnya asyik punya. Ditiban Bang TS yang rame. Jadilah.

Awalnya melewati hutan rumah elite PIK, Pantai Indah Kapuk, akhirnya menyeberangi sebuah jembatan dan disembur sinar mentari pagi. Sayup-sayup, angin menyambut. Meski langitnya digulung awan. Ah, Jakarta memang sedang ditiup eh digulung polusi. Sehingga tidak enak mendengarnya: terburuk di dunia. Nah, dari Pulau Maju, sempat saya lihat pesawat menerjang awan gelap.

Dari sepotong info perihal Pulau Maju -- atau kemudian diralat Mas Yon sebagai Pantai -- memang tak seindah pantai daerah. Ya, bedalah dengan Bali yang seperti surga, sehingga penasaran setelah memotret pelang-pelang kondisi terbarukan Pantai Maju. Termasuk fasilitas baru. Ruang jogging, dan fasilitas lainnya. Ketika saya mengunggah ke FB, beberapa teman berseru: "Beli atuh rumah semilyar, Teh!" Heuheu ... andai a ... a ... a ... Ku seorang milyarder....

Walaupun tidak seperti pulau Bali, Pulau Maju tetap mempunyai daya tarik tersendiri. Salah satunya, ya asal lahan yang berasal dari pantai dan daerah lautan yang diuruk, kemudian disulap menjadi wilayah daratan, Dan dijadikan lahan tinggal elit. Bangunan yang didesain unik dan menebar aroma prestise, memang menjadi daya tarik yang lain. Setiap sudut memandang, nampak bangunan baru dengan gaya kontemporer. Memabukkan!

Hadeh! Mana bisa, gaji guru daerah membeli property seharga sepuluh digit? Ngimpi, euy. Ah, saya mah orang gunung, yang terbiasa mandi pagi, bukan di Pantai Maju seperti yang  sekarang sedang saya kunjungi memakai  mobil panitia ini, hahaha. 

Saat melihat Mas Yon bak seorang juru kamera menyuting sekeliling kawasan lengang pagi itu, baru tahu, ternyata ia vlogger, memberi contoh, untuk kemudian dia bagikan. Nah, ternyata ini arti tour ke Pulau Maju yang dimaksud. Ada pembelajaran seperti back drop yang dipasang di Graha Wisata TMII.

Ketika mobil bergerak meninggalkan Pulau Maju, jadi kepikiran. Seorang guru daerah perlu maju dalam meniti diri sebagai penulis. Ya, di luar mengajar di ruang kelas, saya, penulis cukup produktif. Terutama menulis yang berbahasa Sunda. Beberapa sudah saya bukukan.  Namun, bersilaturahim sesama penulis -- terutama dengan Kompasianer -- perlu. Untuk kemajuan diri. Terus belajar. Apalagi gratis. Eh, gratisan juga bukan berarti murahan. Swear!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun