Oleh: Erni Wardhani, M.Pd.
Ada yang unik dan berbeda saat saya ke undangan hari kemarin. Bukan saja tempat undangannya yang ditata dengan apik, lebih dari itu, ada sesuatu yang membuat mata saya berbinar, lebih tepatnya penuh dengan keingintahuan. Hal tersebut berlaku saat saya menerima cendera mata pernikahan. Sebuah karung mini, seukuran layaknya souvenir berbungkus plastik saya terima dari pager ayu yang bertugas.Â
Saya masukkan cendera mata tersebut dengan pikiran sedikit melayang, dan dahi mengkerut. Saya pikir, keingintahuan saya tuntaskan setelah mendatangi kedua mempelai berikut orang tuanya (pejabat Cianjur), dan setelah mengeksekusi hidangan yang berjejer rapi. Tidak terlalu banyak macamnya, namun elegan.
Dua puluh menit sudah, saya berada di dalam ruangan, yang didesain dengan satu pintu itu. Selanjutnya, saya kembali ke mobil, dan segera membuka cendera mata tadi. Saya timbang, begitu ringan. Ada nama kedua mempelai. Selebihnya, kalau dipandang sepintas, tidak bernilai apa-apa. Akhirnya, saya putuskan untuk membuka plastik yang membungkusnya. Karung kecil itu berisikan kantong plastik persegi mini, yang dilipat menjadi tiga.Â
Di dalamnya ada enam biji bunga matahari, dan selembar kertas kecil. Selidik punya selidik, ternyata karung mini tersebut berisi ajakan untuk menanam pohon sesuai dengan benih yang diterima. Kertas kecil yang terselip, ternyata berupa langkah-langkah untuk menanam pohon tersebut, dan plastik lipat tiga, adalah tempat untuk medianya. Jadi si biji diberi tanah, dan nantinya dimasukkan ke polibag mini tersebut.
Kebanyakan seperti itu. Namun hari ini sungguh berbeda. Sesuatu yang begitu penuh dengan filosopi hidup. Ajakan berupa melestarikan lingkungan. Dan ini patut diacungi jempol. Cenderamata yang unik, akan mampu diingat oleh yang menerima.
Tradisi pemberian suvenir sejatinya sudah berlangsung sangat lama. Menurut Wikipedia, dahulu bangsawan Eropa sering memberikan bonbonniere sebagai suvenir pernikahan. Bonbonniere (suvenir berupa kotak kecil yang terbuat dari kristal, porselen, atau batu berharga lainnya).Â
Isi dari bonbonniere lazimnya adalah gula batu atau manisan permen yang lezat. Bukan tanpa alasan bonbonniere berisi gula batu diberikan. Karena konon pada masa tersebut gula termasuk komoditi mahal yang amat berharga. Kandungan gula juga dipercaya baik untuk kesehatan.
Seiring berjalannya waktu, harga gula terus mengalami penurunan. Tradisi pemberian gula sebagai suvenir untuk tamu undangan juga dilakukan hingga kalangan kelas bawah. Karena harga gula menjadi lebih terjangkau, bonbonnieres pun mulai digantikan dengan almond.Â
Selama berabad-abad, almond lazim dibagikan sebagai suvenir pernikahan sebagai simbol dari harapan baik untuk kehidupan baru pengantin pria. Dalam mitologi Yunani, almond juga melambangkan cinta abadi.
Hingga saat ini, pemberian suvenir pernikahan telah mendarah daging sebagai budaya seluruh dunia. Benda yang dijadikan suvenir pernikahan pun tak terbatas pada suvenir yang bisa dimakan saja. Bisa disesuaikan dengan tema pernikahan atau keinginan kedua mempelai.
Agar semakin menarik dan indah dipandang, suvenir/cendera mata, Â selalu dikemas dengan beragam variasi. Mulai dari kotak berhias pita, hingga kain elegan. Dan tak pernah ketinggalan, suvenir dilengkapi dengan nama kedua mempelai yang berbahagia, inisial atau tanggal pernikahan. Barangkali ada ide-ide kreatif dalam menuangkan gagasan untuk tema cendera mata, supaya tidak terkesan asal ada. Dengan demikian, cendera mata yang dibagikan akan tak terlupakan, bermanfaat, dan bernilai guna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H