Akhirnya aku mendahului wanita itu. Langkahnya beberapa meter di belakang. Sepatu hak tingginya bergantian dengan sepatuku memecah keheningan lorong hotel. Ya, ini lantai 3, dan aku hanya perlu menyusuri kamar ke-7. Beberapa kamar yang kulewati nampak sepi. Suara sepatu wanita berambut pirang berhenti di nomor 05, itu artinya kamarnya berdampingan dengan kamar tujuanku. Kulirik wanita tersebut, dan dirinya sudah masuk ke dalam kamarnya. Aku sampai pada kamar 307. Pintu terganjal oleh sekatan pintu dari besi, artinya tidak terkunci.
Untuk beberapa saat jantungku berdegup lebih kencang, namun rasa kepenasarananku mengalahkan segalanya. Pelan, kudorong pintu itu sambil menahan napas. Jantungku berdegup lebih kencang, dan mataku melotot demi melihat seprei putih acak-acakkan yang berlumuran darah segar. Tubuhku bergetar hebat. Ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya, namun tak bisa. Betapa tidak, perempuan berambut pirang yang tadi masuk ke kamar 05, kini tergeletak tak bernyawa dengan darah segar yang masih mengucur deras di lehernya. Pandanganku refleks menyapu ruangan, dan berbalik 180 derajat. Namun apes, orang yang baru ke luar dari kamar mandi melihatku yang hendak terbirit.
Aku melepas sepatu, untuk kemudian berlari dan mengacak-acak benda yang kebetulan dekat denganku, supaya orang yang mengejarku sedikit kewalahan. Pintu hotel kubanting kasar, dan mulai berlari menjauh. Beberapa yang berpapasan denganku menampakkan muka keheranan dan mengernyitkan keningnya begitu melihatku yang pucat pasi.
(nyambung kalo kagak males)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H