Hentakan musik berirama salsa mengguncang lantai dansa. Aku yang masih terbengong-bengong terkejut setengah mati tatkala ada yang memegang kuat lenganku, dan berusaha menarik tubuh ke lantai dansa. Suara desahan Marc Anthony dengan Aguanile-nya, membuat aku bagai kerbau dicocok hidung. Tangan kekar lelaki bertato  membawaku ke lantai dansa. Memegang tangan kanan dan tangan kiriku dengan mesra, kemudian dia menempatkan tangan kanannya pada bahu kiriku. Tangan kirinya pada bahu kanan, dan lengannya terletak di atas lenganku.
Mulailah aku dan dia dalam posisi saling berpegangan tangan. Lelaki itu mengarahkan telapak tangan terbuka ke atas, dan aku  menerima tangannya dengan telapak tangan menghadap ke bawah. Pose ini memberikanku kebebasan yang lebih dalam bergerak. Wajah kami dekat sekali. Sesekali kurasakan  embusan napasnya di leherku, bahkan kadang hidung mancungnya menyentuh lembut pipi kiriku.
Keadaan seperti ini memaksaku untuk tidak menghindarinya, akan tetapi jadi berusaha melayani tariannya. Sumpah, belum pernah aku menari salsa sekali pun, namun karena lelaki berambut dikuncir dan bertato di lemgannya ini mahir sekali membantu lawan untuk mempelajari gerak langkah kaki serta liukan badannya, aku jadi cepat sekali mengikuti gerakannya.Â
Tangan kiri lelaki itu melepas tangannya untuk kemudian bergerak-gerak, lalu secepat kilat memasukkan sesuatu ke dalam lipatan sabuk pita gaun dansaku. Aku mengikuti gerakannya, dan tadinya mau mendorong tubuh lelaki itu, namun mata lelaki bertato itu seperti mengandung magnet, supaya aku menerima dan tidak banyak cakap. Kemudian dia membawaku menari kembali dengan lebih bergairah. Aku tersadar ketika musik berhenti dan tepuk tangan bergema.Â
Ya, aku dan laki-laki yang bertato di tangannya itu, dikelilingi oleh orang yang ada di lantai dansa. Aku tersenyum sambil tersengal-sengal mengatur napas. Keringat terasa membanjiri seluruh tubuh. Laki-laki dengan tato di tangannya melepaskan genggaman tangan kirinya, memberi salam, untuk kemudian bergegas meninggalkanku yang masih terbengong-bengong.
Aku benar-benar tak sempat menanyakan hendak ke mana...atau sekadar menanyakan siapa namanya, nama laki-laki yang bertato di lengan sebelah kanannya, yang sudah mengajakku berdansa salsa, untuk kemudian menyelipkan kertas kecil di sabuk pita pinggangku. Oh, ya, baru kuingat. Aku melirik ke arah sabuk pita, terlihat kertas kecil terselip di sana. Ingin sesegera mungkin mencabut dan membaca apa isi tulisannya, namun tak kulakukan. Tentu saja tak kulakukan, masih banyak orang mengelilingiku, memandang dan memberikan aplause. Aku tersenyum, lalu memberi hormat terima kasih, dan berlalu ke toilet.
Suasana di toilet tidak lenggang, tidak juga ramai. Segera kubuka tas dan mengambil tissue. Mengelap keringat yang bermunculan di sekitar kening dan leher. Merapikan sedikit riasan dan mempertebal bedak sekadar menyerap keringat. Kupoles bibir dengan warna peach segar. Ranum sekali bibirku.
Kepala kukelilingkan ke sekitar untuk melihat keadaan. Setelah dirasa aman, cepat kutarik kertas yang diselipkan laki-laki misterius itu. Kertas kecil ukuran 5 x 5 centi itu terlipat rapi. Hanya ada tulisan 307. Aku yakin, bahwasanya tulisan itu menyuruhku untuk masuk ke kamar 307 hotel ini. Mengapa laki-laki itu menyuruhku ke kamar 307? Adakah hubunganku dengannya....
Pertanyaan tadi mampu memandu tubuhku untuk memasuki kamar itu. Pelan tapi pasti, mulai kususuri hotel mwah ini. Kamar 307, berarti aku harus naik ke lantai 3, dan masuk ke kamar nomor 07. Ya, kuputuskan memenuhi keinginan laki-laki bertato di lengan kanannya tersebut untuk masuk ke kamar 307. Langkah kaki pelan memasuki lift yang berada di ujung lantai dansa. Ada 5 orang di dalam. Kupijit angka 3 dan membiarkan beberapa untuk memijit lantai tujuannya. Hanya ada 2 orang yang kebetulan hendak ke lantai 3. Seorang perempuan tinggi berhidung mancung, dan berambut pirang, diikat ke belakang. Berkacamata model Yoko Ono, memakai stelan blazer dan rok di atas lutut. Sangat chic. Tangannya mendekap map coklat bertali.
"You first." kataku sopan.
"No...you first."