Garut yang Carut-marut di September 2016
Jika, Willem Rampangilei kepala BNPB (Badan Nasional Penanggulan Bencana) bercanda, bahwa: "Saya kalau ingat asmara selalu ingat Pak Sutopo," ungkapnya dalam acara nangkring di Kompasiana, hari Selasa, 06 Mei 2017, sambil berbuka puasa di Kantor BNPB, lantai 14 di Jalan Pramuka, Jakarta. bahwa menjadi tugas, terutama Dr Sutopo Purwo Nugroho, M. Si, APU Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, dalam mensosialisasikan kebijakan badan penting negara saat genting pasca bencana melanda.
Maksudnya, perihal tayangan dengan tajuk ADB akan segaris lurus dengan wajah Pak Sutupo yang kerap nongol di layar kaca bila ada musibah terjadi, misalnya, di Kabupaten Garut. Kenapa Garut? Saya kelahiran Kota Dodol itu, persisnya di Ciwalen, dan merasa sesak nafas ketika musibah banjir, terutama dari Sungai Cimanuk terjadi pada September 2016 lalu.
Hal kedua, karena pada tahun di mana sandiwara ADB mulai ditayangkan, dan tetap ada bencana yang airnya sampai menerjang Rumah Sakit UD dr. Slamet -- yang nota bene untuk tempat penampungan korban, mestinya -- yang berada di tengah kota, kondisi DAS (Daerah Aliran Sungai) Cimanuk yang rusak sebagai salah satu pemicu banjir bandang hingga ketinggian 1,5 meter sampai 2 meter.
Bahwa sandiwara radio adalah sebagai sarana efektif mensosialisasikan pencegahan bencana, terutama bagi warga di daerah-daerah yang rawan bencana. Itu penyebabnya.
Bagaimana agar lebih waspada terhadap bencana ? Disebutkan oleh Pak Sutopo dengan data yang fasih dihapalnya di  luar kepala dalam sebuah perbandingan. Semisal, di Jepang, bekas daerah bencana disterilkan dan dijadikan pelajaran menjadi sebuah monumen. Sedangkan, "Di Aceh, bekas tsunami 26 Desember 2004, sekarang sudah berkembang seperti ini...," tuturnya seraya memperlihatkan video sekitar bencana maha dahsyat di Serambi Mekah itu. Di mana daerah sekitar pantai telah tumbuh bangunan dan mulai dipadati penduduk. Untuk aktivitas seperti biasanya, tak ubahnya sebelum tsunami itu terjadi.
Artinya, kita gampang melupakan sejarah. Kendati sebuah bencana besar sekalipun. Untuk itu, tak masuk akal bila dirayakan dengan "cara-cara" menganggap enteng dalam upaya pencegahan. Padahal, penggampangan itu  bisa mendatangkan korban nyawa lebih banyak. Karena serenteng bencana bisa datang kapan saja, dan repotnya umpamanya alat penanda (akan) awal akan datangnya sebuah bencananya pun bisa menguap tak berfungsi. Karena tak dirawat, dan seterusnya. Pengabaian yang awalnya manusiawi namun akibatnya bisa fatal.
Menilik ketangguhan BNPB, serta terus memperbaiki diri agar meminimalisir kebencanaan di tanah air yang memang kaya akan gunung berapi, dan pulaunya yang tujuh belas ribuan dan enam ribu pulaunya dihuni sebagai sebuah tantangan. Selazimnya, manusia lebih arif dan tanggap seiring teknologi informasi yang berkembang pesat. Dan media sosial (medsos) di genggaman melalui HP canggih, semestinya menjadi alat bantu yang dapat mengurangi kebencanaan di negeri ini.
Mengingat medsos punya keunggulan:
- Cepat melebihi media mainstream mana pun
- Tidak birokratis, karena diunggah oleh warga yang peduli
- Ada sarana semisal HP canggih dan frekuensi yang memungkinkan mengunggah kapan pun di mana pun.
Kenapa Memilih Radio dan Bentuk Sandiwara?
Mendayagunakan berbagai media bagi BNPB dalam SOP dan kinerjanya, merupakan keniscayaan. Termasuk ketika kearifan lokal dimaksimalkan, mengingat kinerja jadul di era milenial kini tak bisa disebut komplet dan komprehensif. Padahal, ketika warga dikejutkan sebuah bencana longsor, misalnya. Yang paling mudah diingat, menabuh kentongan atau titir ketika terjadi bencana.
"Maka dari itu kita harus meningkatkan kesiapsiagaan dan menumbuhkan kesadaran bencana. Melalui kesenian tradisional, karena masyarakat akan dengan mudah mendapatkan hiburan sekaligus edukasi bencana," ujar Pak Sutopo di Garut seperti dikutip Harian Republika (21/5/2017).
Dengan pendekatan seni dan kearifan lokal untuk meningkatkan budaya sadar bencana, disesuaikan dengan kesenian daerah masing-masing dan sekaligus menggerakan ekonomi lokal. Itu nilai tambahnya. Meski bagi BNPB, terus mendekatkan "pesan" akan siaga bencana tak pernah henti. Sebagai sebuah kesinambungan. "Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin BNPB setiap tahunnya. Tahun ini kami akan menyelenggarakan di empat tempat, pertama di Garut ini, kemudian Blora, Purworejo dan Trenggalek," imbuh lelaki yang akrab dengan awak media itu.
Perhatian terhadap bencana yang melanda Garut sebagai tanah kelahiran, bisa terasakan oleh saya dalam acara nangkring di Kompasiana. Pemaparan Pak Sutopo, sambutan mendalam dari kepala BNPB serta kehadiran Haryoko, sutradara sandiwara ADB menjadi lengkap. Oleh karenanya bisa dimengerti arti ADB untuk penambahan penayangannya di berbagai daerah lain melalui radio swasta/ lokal. Mengingat, bahwa radio disebut paling efektif untuk menjangkau warga yang tinggal di daerah bencana.
Radio, seperti disebutkan Effendi Gazali yang telah lima tahun bermitra dengan BNPB, punya kelebihan dan kekhasan sebagai penyampai pesan ke audience yang lebih luas. Dan sandiwara radio, sudah terbukti, seperti kali ini menghadirkan Ferry Fadli dalam ADB episode II. "Saya sudah menengarai lima tahun lalu di BNPB," ungkap pengajar komunikasi di Universitas Indonesia itu.
Artinya, radio dan dengan model kemasan sandiwara menjadi sebuah peringatan dini terhadap bencana bila terjadi. Paling tidak, dalam benak pendengarnya termasuk saya yang tinggal di daerah Jawa Barat yang dikenal salah satu wilayah rawan bencana terutama longsor, menjadi sebuah pengetahuan tambahan yang amat sangat berguna. Mengingat  Garut merupakan daerah yang memiliki beragam potensi bencana, mulai dari bencana banjir, longsor, gunung api, gempa bumi, kebakaran hutan dan sebagainya.
Jelas, saya tak ingin bencana pada September tahu lalu di Garut terjadi. Karena itu sebuah kebodohan. Dan itu tak ada hubungannya dengan idiom dodol bagi kota kelahiran saya. Biarlah bencana itu menjadi pembelajaran -- seperti BNPB Mengajar -- di wilayah kami. Yang bersemi kini, selazimnya cinta lingkungan. Agar tak menjadi musibah atawa bencana lagi. Titik.
***
Foto-foto: dok pri dan dok. BNPB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H