Kenapa Memilih Radio dan Bentuk Sandiwara?
Mendayagunakan berbagai media bagi BNPB dalam SOP dan kinerjanya, merupakan keniscayaan. Termasuk ketika kearifan lokal dimaksimalkan, mengingat kinerja jadul di era milenial kini tak bisa disebut komplet dan komprehensif. Padahal, ketika warga dikejutkan sebuah bencana longsor, misalnya. Yang paling mudah diingat, menabuh kentongan atau titir ketika terjadi bencana.
"Maka dari itu kita harus meningkatkan kesiapsiagaan dan menumbuhkan kesadaran bencana. Melalui kesenian tradisional, karena masyarakat akan dengan mudah mendapatkan hiburan sekaligus edukasi bencana," ujar Pak Sutopo di Garut seperti dikutip Harian Republika (21/5/2017).
Dengan pendekatan seni dan kearifan lokal untuk meningkatkan budaya sadar bencana, disesuaikan dengan kesenian daerah masing-masing dan sekaligus menggerakan ekonomi lokal. Itu nilai tambahnya. Meski bagi BNPB, terus mendekatkan "pesan" akan siaga bencana tak pernah henti. Sebagai sebuah kesinambungan. "Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin BNPB setiap tahunnya. Tahun ini kami akan menyelenggarakan di empat tempat, pertama di Garut ini, kemudian Blora, Purworejo dan Trenggalek," imbuh lelaki yang akrab dengan awak media itu.
Perhatian terhadap bencana yang melanda Garut sebagai tanah kelahiran, bisa terasakan oleh saya dalam acara nangkring di Kompasiana. Pemaparan Pak Sutopo, sambutan mendalam dari kepala BNPB serta kehadiran Haryoko, sutradara sandiwara ADB menjadi lengkap. Oleh karenanya bisa dimengerti arti ADB untuk penambahan penayangannya di berbagai daerah lain melalui radio swasta/ lokal. Mengingat, bahwa radio disebut paling efektif untuk menjangkau warga yang tinggal di daerah bencana.
Radio, seperti disebutkan Effendi Gazali yang telah lima tahun bermitra dengan BNPB, punya kelebihan dan kekhasan sebagai penyampai pesan ke audience yang lebih luas. Dan sandiwara radio, sudah terbukti, seperti kali ini menghadirkan Ferry Fadli dalam ADB episode II. "Saya sudah menengarai lima tahun lalu di BNPB," ungkap pengajar komunikasi di Universitas Indonesia itu.
Artinya, radio dan dengan model kemasan sandiwara menjadi sebuah peringatan dini terhadap bencana bila terjadi. Paling tidak, dalam benak pendengarnya termasuk saya yang tinggal di daerah Jawa Barat yang dikenal salah satu wilayah rawan bencana terutama longsor, menjadi sebuah pengetahuan tambahan yang amat sangat berguna. Mengingat  Garut merupakan daerah yang memiliki beragam potensi bencana, mulai dari bencana banjir, longsor, gunung api, gempa bumi, kebakaran hutan dan sebagainya.
Jelas, saya tak ingin bencana pada September tahu lalu di Garut terjadi. Karena itu sebuah kebodohan. Dan itu tak ada hubungannya dengan idiom dodol bagi kota kelahiran saya. Biarlah bencana itu menjadi pembelajaran -- seperti BNPB Mengajar -- di wilayah kami. Yang bersemi kini, selazimnya cinta lingkungan. Agar tak menjadi musibah atawa bencana lagi. Titik.
***
Foto-foto: dok pri dan dok. BNPB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H