Dua tahun sejak invasi skala besar Rusia terhadap Ukraina hingga hari ini masih belum usai. Serangan yang dilancarkan oleh Rusia pada tahun 2022 tersebut diklaim sebagai langkah demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina. Lanjut Rusia mengklaim bahwa invasi tersebut untuk mengakhiri dugaan genosida orang Rusia di wilayah Ukraina. Namun, hingga saat ini Rusia masih belum berhasil menguasai wilayah Ukraina secara penuh. Hanya 18 persen wilayah Ukraina berhasil diduduki oleh Rusia. Sedangkan Ukraina telah merebut kembali 54 persen wilayah yang telah diduduki sebelumnya.
Perang yang sengit dan berdarah di Ukraina telah menghancurkan negara tersebut. Membuat Rusia semakin terisolasi dari Barat dan meningkatkan ketidakamanan ekonomi global. Meskipun dampak ekonominya mungkin tidak signifikan, namun peristiwa tersebut menimbulkan dampak yang berkepanjangan. Setidaknya secara pertumbuhan ekonomi dan pangan global.
Namun demikian, mengamati perang Rusia-Ukraina tidak dapat diamati secara ekonomi saja. Hubungan internasional menjadi teropong lain untuk mengamati persoalan perang Rusia-Ukraina. Baik secara dampak yang ditimbulkan, maupun sebab yang bermula.
Stabilitas Moneter Global Terganggu?
Menteri Keuangan Rusia, Antonov Siluanov mengatakan bahwa USD 3OO miliar dari cadangan emas dan valuta asing negara dibekukan oleh Amerika Serikat. Antonov melanjutkan bahwa hampir setengah dari total aset negara berkurang karena adanya pembekuan tersebut. Maka AS disini telah berhasil melemahkan Rusia terhadap nilai tukar rubel yang memanfaatkan cadangan devisa. Tidak hanya melemahkan saja, bahkan pembekuan oleh AS berdampak pada kenaikan inflasi di negara tersebut. Kenaikan inflasi tersebut disebabkan harga-harga barang yang naik di Rusia khususnya barang-barang hasil perdagangan Internasional. Sedangkan Rusia, umumnya masih menggunakan USD dalam perdagangan internasional.
Dalam memberikan solusi atas masalah tersebut, pada tanggal 28 Maret 2022 pemerintah Rusia secara resmi merubah sistem nilai kurs. Rusia mengubah sistem nilai kurs mengambang terkendali menjadi sistem nilai kurs tetap. Perubahan ini memberikan dampak positif terhadap penguatan rubel terhadap USD yang tercatat USD 1 = 80 Rubel. Namun dibalik dampak positif tersebut terdapat resiko gagal bayar atau default. Resiko gagal bayar ini muncul sesuai dengan laporan Rodrigo Olivares-Caminal, Profesor Hukum Perbankan dan Keuangan, Queen Mary University of London menyebut Rusia mengalami gagal bayar pada dua obligasi pemerintahannya. Terdapat dua obligasi antara lain, obligasi 2026 dalam bentuk USD dan obligasi 2036 dalam bentuk Euro.
Tetapi, Rodrigo Olivares-Caminal berargumen bahwa risiko default yang menjadi peramasalahan Rusia tidak akan menimbulkan ketidakstabilan moneter global. Hal tersebut disebabkan para investor yang mulai mengurangi investasi dan kepemilikan saham di Rusia sejak invasi Crimea 2014. Namun, hal ini tidak bisa dianggap remeh karena pasalnya setiap kebijakan suatu negara pada bidang moneter bisa mempengaruhi moneter negara lain. Kondisi tersebut bisa terjadi sebab globalisasi menyatukan semua negara seolah tanpa sekat. Maka kebijakan moneter suatu negara dapat berdampak pada moneter negara lain.
Dalam diskusi bulanan, Institute for Global and Strategic Studies (IGSS), dosen ilmu hubungan internasional (HI) Universitas Islam Indonesia menjelaskan invasi Rusia ke Ukraina tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap kondisi moneter global. Namun yang diwaspadai disini adalah perekonomian negara-negar Uni Eropa. Pasalnya dosen HI tersebut melanjutkan bahwa total ekspor Rusia ke Uni Eropa mencapai 42 persen dari total impor 33 persen. Hal ini menjadi timbul dilema tersendiri bagi pihak Uni Eropa dalam menghadapi Rusia. Apalagi tingkat ketergantungan pasokan energi dan gandum menjadi pukulan berat bagi UE jika mereka tidak hati-hati dalam mengambil kebijakan. Rusia akan mengalami iklim panjang dalam upaya memperbaiki sektor perekonomian, pertahanan, dan citra negara.
Impact Terhadap Pasar Keuangan Global
Konflik ini jelas berdampak pada bisnis global dan juga konsumen. Pasar saham menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan kuat dengan Rusia, melalui perdagangan atau kepemilikan, mengalami penurunan harga saham yang signifikan setelah invasi tersebut.
Rata-rata, hubungan perdagangan dengan Rusia menyebabkan penurunan nilai indeks pasar saham agregat masing-masing negara sebesar 1,53%, menurut studi London School of Economics. Sebelum perang, ketergantungan perusahaan terhadap Rusia rata-rata sebesar 0,25%. Artinya, sebuah perusahaan dengan output sebesar USD 1 miliar akan melakukan ekspor dan impor ke dan dari Rusia senilai total USD 2,5 juta.