Bagi beberapa pihak, identitas pagelaran wayang kulit sempat dinilai dan diberi label sebuah acara yang membosankan, bahasa sulit dicerna, dan sangat formal. Dengan labelling seperti ini sempat membuat skena pagelaran wayang kulit kurang diminati awam dan anak-anak muda.
Ki Seno Nugroho ingin menciptakan citra dirinya sebagai dalang yang bisa melebur dengan anak-anak muda, dengan pembawaanya yang santai dan nyentrik.
Fong (dalam Samovar, 2017, h. 244) menyebut bahwa identitas budaya merupakan identifikasi komunikasi sebagai sistem simbolis, baik secara verbal maupun non-verbal. Ki Seno Nugroho terkenal dengan pembawaanya menjadi Punakawan, terutama karakter Bagong. Bagong adalah salah satu karakter wayang yang memiliki watak lugu, jujur, dan suka berbuat lucu.
Menurut masyarakat, Ki Seno Nugroho sangat lihai dan karismatik ketika memainkan Bagong diatas panggung. Suara bagong yang khas serta celetukan yang relevan dengan masyarakat membuat karakter Bagong paling dicintai oleh para penonton pagelaran wayang kulit Warga Laras.
Karakter lain yang ikonik dari pembawaan dalang Ki Seno Nugroho adalah sosok Baladewa. Baladewa memiliki watak yang keras, mudah marah, namun bijaksana. Ki Seno Nugroho selalu menampilkan Baladewa dengan baik, suaranya yang keras dan intonasi yang cepat membuat Baladewa digandrungi pula berkat sikap kepemimpinanya.
Setiap jalan cerita yang dimainkan pagelaran wayang kulit Warga Laras selalu sesuai pada benang merah cerita, meskipun terkadang lebih banyak guyon dibanding serius. Terlepas dari pakem yang ada pada cerita wayang, pagelaran wayang kulit Warga Laras seringkali menambahkan unsur-unsur karakter baru dalam cerita wayangnya.
Contohnya dengan adanya karakter Banci Sukini yang menggambarkan tokoh lelaki flamboyan yang suka menggoda para lakon laki-laki didalam cerita. Intermezzo seperti inilah yang membuat Warga Laras menjadi pilihan bagi para masyarakat. Sebab untuk mendalami cerita wayang, terkadang individu kesulitan untuk mencerna apa arti dari sebuah adegan, sebab menggunakan bahasa krama Jawa yang tinggi.
Ki Seno Nugroho dan pagelaran wayang kulit Warga Laras tentunya membuka opsi baru bagi para generasi millenial dan generasi Z untuk memilih hiburan. Tanpa mendiskreditkan alur cerita dan bahasa Krama Jawa yang tinggi, Ki Seno Nugroho berhasil membujuk banyak anak muda untuk mencoba memahami dan belajar seperti apa cerita wayang kulit.
Identitas budaya yang kental dan banyaknya unsur makna dalam setiap adegan membuat wayang selayaknya menjadi hiburan yang edukatif. Pesan moral dari para tiap karakter wayang dan kritik sosial-politik yang terkadang dibawa membuat wayang menjadi tontonan berisi, selain untuk hiburan semata.
Anak muda seharusnya patut melestarikan apa yang sudah diwariskan oleh para leluhur, tidak lain dan tidak bukan adalah kesenian tradisional yang ada. Budaya-budaya lokal seperti wayang kulit sangat perlu dihargai, dan kalau bisa dilestarikan.
Pagelaran wayang kulit selain menjadi hiburan juga merupakan bentuk perwujudan identitas bermasyarakat Indonesia. Banyak sekali lakon-lakon yang merepresentsikan kepribadian diri kita, baik dari sikap buruk ataupun baik. Dan dalam penyampaianya perlu ada pencerita yang ikonik, berkarakter, dan juga berwibawa seperti mendiang Ki Seno Nugroho.