Maghrib ini,
berbuka puasaku  di hari Senin ditemani cokelat.
Ia telah melewati jelang musim semi di negerimu,
dan melintasi perjalanan sangat panjang mencapaiku.
Tetapi,
bukan kah jauh dan dekat hanya sebatas perasaan?
Juga sekuat ingatan mau memanggil.
Cokelat adalah bayanganku tentang citarasa  kanakÂ
yang meleleh merdeka di ujung lidah di mana aku merasa
dalam kebahagiaan kanak-kanak yang sempurna.
Pada cokelat, aku dapat menikmati dunia polos,
tanpa perlu dihujani beban curiga.
Sebab, hanya orang-orang dewasa yang biasa menebar prasangka buruk,
dan tingkah manipulatif,
sembari mengajari anak-anak untuk menempuh jalan baik dan tulus,
serta pikiran suci.
Aku bertanya-tanya sekat imajiner,
tentang kau dan aku.
Tentang kita.
Apakah kita adalah angka-angka yang lepas dari deret matematika?
Apakah kita adalah abjad yang telah tanggal dari baris huruf-huruf yang tertib,
antara A sampai Z?
Tetapi,
sejak kapan kah cokelat punya agama?
______
Bandung, 11 September 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H