Mohon tunggu...
Erna Suminar
Erna Suminar Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar, sederhana dan bahagia

# Penulis Novel Gerimis di El Tari ; Obrolan di Kedai Plato ; Kekasih yang tak Diinginkan ; Bukan Cinta yang Buta Engkaulah yang Buta. Mahasiswa Program Doktor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sisi Gelap Sisi Terang Mario Teguh dan Kita

2 Oktober 2016   15:55 Diperbarui: 2 Oktober 2016   18:15 3925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semalam, saya luput menonton MTGW terakhir. Seperti waktu-waktu sebelumnya, saya hampir tidak menonton televisi, kecuali beberapa channel favorit, yang berkaitan dengan satwa liar, menjelajah alam, dan film.

Saya mengenal Mario Teguh saat membaca bukunya pada tahun 2006, “Becoming a Star”, jauh sebelum beliau terkenal. Dan ketika melihat atraksinya di televisi, penampilannya amat interaktif dan renyah. Namun, itu pun tidak membuat saya ingin menontonnya.

Terkadang kalimat-kalimat bijaknya melintas di timeline Facebook yang di-share teman. Menyenangkan membacanya. Hingga, akhirnya ada teman juga yang share gonjang-ganjing Mario Teguh, saya baru tahu... Mario Teguh sedang diuji oleh ucapannya sendiri.Dramatugi

Erving Goffman dalam bukunya Presentation of Self in Everyday Life(1959) mengemukakan sebuah teori yang menarik tentang manusia dalam kaitannya dengan presentasi diri. Bahwa, sebenarnya tingkah manusia itu seperti dalam panggung teatrikal. Ia akan berupaya menampilkan dirinya yang dapat diterima oleh orang lain, dan mengendalikan dirinya sekiranya itu membuat dirinya terlihat buruk yang menimbulkan kebencian khalayak.

Dengan analogi teatrikal ini, Goffman berkata tentang panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Panggung depan adalah wilayah yang baik-baik yang ingin ditampilkan manusia, misalnya seperti: keren, gaya kelas atas, pemurah, bijaksana, santun, peduli dsb..

Sedangkan di panggung belakang, manusia memperlihatkan diri yang sebenarnya, seperti: culas, pengkhianat, senang mengumpat, senang berhutang, berbohong, kasar, selingkuh dsb.. Dan panggung belakang itu umumnya lebih banyak diketahui oleh dirinya sendiri dan oleh keluarga – atau orang-orang terdekatnya. Yang mana saat panggung belakang ini diceritakan kepada orang lain, itu akan membuatnya menjadi sangat malu dan terhina.

Karenanya, banyak orang khawatir dengan dirinya sendiri tidak diterima oleh orang lain. Akibatnya, orang akan berusaha memberi kesan citra dirinya sedemikian baik. Seseorang akan senang menyembunyikan rahasia di masa lalu yang membuatnya malu. Dan orang akan menutupi perilaku jahatnya. Jika pun ia berbuat jahat, ia akan melakukannya dengan cara sembunyi-sembunyi – karena orang tahu konsekuensinya, perbuatannya akan membuat dirinya ditolak dan dibenci oleh orang-orang di sekitarnya dan khalayak.

Seseorang yang sedang membuat pertunjukan citra diri, misalnya: betapa soleh/solehahnya dia, betapa bijaksananya dirinya… ia tak akan berkehendak, seseorang yang mengetahui, bagaimana sesungguhnya kelakuan dia di panggung belakang (back stage) tiba-tiba muncul, karena itu akan merusak atraksi panggungnya.

Karenanya, ia akan berusaha mencegah kedatangannya – agar wajah ‘asli’-nya tidak ketahuan dan fakta yang selama ini disembunyikan terbongkar. Ia sangat takut tercoreng citra dirinya, dan khawatir ia akan tersudut pada keadaan yang tidak menguntungkan.

Sisi Gelap dan Sisi Terang Mario Teguh

Telah lama Mario Teguh menebar kalimat-kalimat indah membuai dan menjadi inspirasi bagi banyak orang. Saya melihat, sepanjang yang saya ketahui, tak sedikit pun dalam atraksi panggungnya Mario Teguh berkata-kata keji menyuruh orang-orang berbuat kejahatan dan membuat huru-hara di dalam masyarakat. Ia memotivasi orang-orang untuk memiliki karakter dan pribadi yang baik.

Kemesraannya dengan Ibu Linna dan bagaimana memperlakukan wanitanya – membuat perempuan yang tersia-sia akan merasa iri. Memuja dan memperlakukan dengan mesra oleh lelaki yang mendudukan istrinya begitu tinggi dalam relasi rumah tangga membuat Mario Teguh sebagai figur suami sekaligus ayah sejati.

Dari panggung ke panggung, dari atraksi ke atraksi, Mario Teguh bertahun-tahun dengan kerelaan hatinya sendiri menjadikan dirinya panutan dan guru kebijakan. Tidak semua orang sanggup mengucapkan kata-kata bijak terus menerus setiap hari, sebijak-bijaknya orang pasti ada hari-hari di mana ia sedang error. Dan saya selalu mempercayai, Mario Teguh dan siapa pun itu, termasuk saya, memiliki sisi gelap yang malu diketahui oleh orang lain.

Dalam teori Johari Window, manusia mengungkapkan diri dibagi menjadi empat bagian: pertama, daerah terbuka (open self), yang memuat informasi perilaku, perasaan, gagasan dsb. yang diketahui oleh diri sendiri dan orang lain.

Kedua, daerah buta (blind self), yang memuat informasi tentang diri kita yang diketahui orang lain, tetapi kita sendiri tak mengetahuinya. Ketiga, daerah gelap (unknown self), adalah alam bawah sadar, dan ini tidak diketahui oleh orang lain maupun oleh diri kita sendiri. Keempat, daerah tertutup (hidden self), memuat kejadian tentang diri sendiri dan orang lain, tetapi hanya disimpan untuk diri sendiri.

Dalam cara pengungkapan diri ini, saya melihat, Mario Teguh ingin kehidupan pribadinya di masa lalu menjadi daerah yang tertutup dan selamanya menjadi rahasia di mata publik. Namun, bukankah kebanyakan orang pun demikian, kita senang merahasiakan sesuatu dan kita hanya akan percaya pada beberapa orang saja untuk diperkenankan tahu rahasia kita?

Sampai akhirnya, sosok Kiswinar, Ariyani dan Kumkum muncul dari “balik jendela”. Mereka muncul dari panggung belakang pada saat atraksi panggung depan Mario Teguh sedang berlangsung. Dan saya tidak ingin membincangkan soal ini di sini. Biarkan mereka menyelesaikan urusan keluarganya sendiri. Toh, saya tidak mengenal mereka dan tidak tahu kejadian yang sesungguhnya.

Mario Teguh dan Kita

Sejak saya belajar hidup melalui interaksi dengan banyak orang, dan jatuh-bangun dengan hidup saya sendiri, saya berusaha terus belajar untuk tidak lagi terpukau dengan kata-kata dan penampilan seseorang. Saya belajar untuk tidak overestimate atau pun underestimate pada orang lain. Setiap orang memiliki sisi gelap dan sisi terang, baik itu Mario Teguh ataupun kita.

Jika pun kasus Mario Teguh mencuat ke permukaan, ada sebuah titik, di mana ucapan akan menguji diri sendiri. Bukan hanya Mario Teguh, tetapi juga kita.

Setiap orang akan menjalani titik nadir di dalam hidupnya, oleh perbuatannya sendiri, dan itu berlaku pada siapa saja, dalam derajat yang berbeda. Kebetulan, Mario Teguh adalah public figure, maka publikasi tentang dirinya meluas. Barangkali, seseorang yang bukan public figure cukup di tingkat RT/RW saja. Tidak ada satu pun media yang mau meliputnya karena tidak memiliki nilai jual sama sekali, lain halnya dengan Mario Teguh.

Saat membaca caci-maki kepada Mario Teguh dan publikasi tentang sisi gelap dirinya, sungguh saya takut pada diri sendiri. Saya takut pada ucapan saya sendiri. Karena saya sadari, dalam hidup ini, semua orang akan diuji.

Alih-alih ingin “membenci” Mario Teguh, saya hanya ingin menjadikan sejarah masa lalu dan masa kini Mario Teguh sebagai “guru”. Semoga saya bisa belajar, dengan segala kerendahan hati.

-----

Pustaka rujukan:

1. DeVito.Joseph A, Komunikasi Antar Manusia, Professional Books, 1997.

2. Ritzer, George dan Goodman Douglas J, Teori Sosiologi Modern, Prenanda, 2005.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun