Mohon tunggu...
Erna Suminar
Erna Suminar Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar, sederhana dan bahagia

# Penulis Novel Gerimis di El Tari ; Obrolan di Kedai Plato ; Kekasih yang tak Diinginkan ; Bukan Cinta yang Buta Engkaulah yang Buta. Mahasiswa Program Doktor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Gerimis di El Tari (1)

10 Januari 2016   00:49 Diperbarui: 10 Januari 2016   10:32 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang perempuan berkulit kuning, bertubuh mungil dan berkaca mata minus menyeret kopor berwarna merah. Tas kulit berwarna  krem  dan satu  tas lainnya berisi kamera  tercangklong  di bahunya.    Dia  memakai rok lilit batik     motif hitam abstrak dengan dasar putih, yang panjangnya hingga menyentuh mata kaki, serta   blus casual lengan panjang  berwarna putih.  Ia berjalan dengan sepatu  kanvas  putihnya seakan  sedang dikejar hantu di pelataran  Terminal 1, Bandara Soekarno-Hatta.

Jakarta yang macet, hampir membuatnya   gagal terbang.  Waktu boarding tidak lama lagi.   Tak terbayangkan jika ia  memakai sepatu high heels  dalam kondisi terburu-buru dan dikejar waktu,   barangkali ia akan terjatuh berulang kali.

Ribuan orang   di bandara seperti anai-anai yang bergerak kian kemari. Ratusan orang yang berpapasan hanya sekedar perjumpaan wajah – tak   sedikit pun terikat emosi. Jiwa mereka seakan  tak berasa – semua  sibuk dengan pikiran dan tujuannya sendiri.  Rupanya, semakin tinggi teknologi,  manusia makin sibuk bergerak kian ke mari. Orang-orang yang duduk diam di kursi-kursi  ruang tunggu tak kalah sibuk  dengan gadget  yang mengambil alih hubungan, dan mengeyahkan kehadiran orang di sekitarnya.  Betapa sibuknya dunia.

            Ia memperlihatkan print out  e-ticket  kepada petugas.

            “Ayunda Adriana?”

            “Ya, saya..” jawabnya  terburu-buru.

            “Kartu identitasnya,” tukas petugas.

Calon penumpang itu merogoh dompet  warna hitam,  lalu  mengeluarkan KTP-nya dan diberikan kepada petugas.

Perempuan  pegawai sebuah maskapai penerbangan  mencocokan  nama pada kartu identitas  dengan tiket.  Petugas itu   memakai contact lens berwarna biru.   Tato alis  hitam legam  memalsukan dari garis alis yang sebenarnya – garis yang sebenarnya terlalu tegas untuknya.    Kelopak matanya dilapisi eyeliner hitam dan bulu mata yang dipaksa lentik. Bibir disapu lipstik merah muda.   Bibirnya agak tebal, namun  dilukis garis bayangan dan dasar lipstik warna kulit  supaya  terlihat lebih tipis.  Nampak ia sejenis perempuan yang  suka memperkosa wajahnya sendiri dengan yang berbau imitasi, dan  tidak cukup percaya diri dengan wajah aslinya.   Dadanya membusung sexy seperti buah pepaya (apakah ia memakai silikon di payudara?).  Berapa lama waktu yang dipakai  untuk merias wajah seperti itu?  Seperti apakah wajahnya jika tanpa topeng   sama sekali? Barangkali pucat seperti mayat? Setelah selesai, petugas itu  ia menghadiahi senyuman dan kalimat standar di mana semua calon penumpang mendapat kloningannya.  Kemudian, pikiran calon penumpang itu pun berhenti  menari-nari, sesaat petugas tersebut memberinya boarding pass.

“Langsung naik ke pesawat, Mbak..”

Calon penumpang itu berhenti menilai penampilan perempuan di hadapannya. Ia kembali berlari-lari dengan sangat terburu-buru. 

Tak ada bawaan  berarti yang dibawanya.  Kebanyakan barang hanya  memberatkan beban perjalanan.  Kopor  besar  yang tak seimbang dengan ukuran tubuh harus berpisah dengannya  untuk memasuki bagasi pesawat.  Malam ini, ia akan terbang pertama kalinya ke Nusa Tenggara Timur.

Dan calon penumpang  yang  hampir saja merasa kehabisan nafas dalam langkah yang terburu-buru itu  adalah aku.

 

(Bersambung....)

--------

Catatan : 

Tulisan  ini saya persiapkan sejak  tahun 2011, sejak pertama kali menjejak di bumi Nusa Tenggara Timur.   Semula, saya tidak tahu, bagaimana cara menyampaikan apa yang bergejolak di dalam pikiran dan perasaan saya tentang NTT. Saya ingin berbagi kepada banyak orang, tentang  keindahan, perih dan juga harapan – sampai akhirnya menemukan jalan pembebasannya melalui novel, “Gerimis di El Tari”.  Anggaplah novel ini sebagai cara saya merayakan perbedaan dan merayakan Indonesia.

Foto : Dokumen Pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun