‘Kita ke Pantai Lampu’uk, ya, Bu..’ kata Nouva. Ah, kemana pun di Banda Aceh, pasti akan menjadi tempat mengasyikan. Pusat perbelanjaan?  Saya pikir, di pusat perbelanjaan di Banda Aceh, mesti akan banyak yang dipelajari. Mungkin saya akan belajar pola konsumsi masyarakat, raut-raut muka yang berbeda. Atau, sekedar memperhatikan ekspresi wajah orang ketika berbicara, intonasi dan logat bicara, yang pasti berbeda di setiap tempat. Namun, bagi saya ketika itu, karena tidak memiliki kebutuhan dengan barang, kecuali harus membeli memory card untuk kamera,  maka belanja menjadi daftar nomor sekian setelah menikmati hal-hal yang natural. Jika ke Banda Aceh datang untuk berbelanja dan disibukan dengan oleh-oleh, saya hanya akan menemukan ‘budaya permukaan’.  Sekalipun ada baiknya berbelanja di sini, membeli kerajinan Aceh, atau apapun yang memungkinkan terjadinya perputaran ekonomi.
Pantai Lampu’uk tak terlalu jauh dari Banda Aceh, hanya sekitar 16 kilometer. Pantai ini ada di antara Banda Aceh menuju Meulaboh, tepatnya di Kecamatan Lhoknga, kabupaten Aceh Besar.  Ketika memasuki tempat ini, pertama yang saya pandangi adalah pepohonan yang berdiri tegak menatap langit, dedaunannya melambai anggun diterpa angin laut. Pepohonan itu rimbun berjajar membentuk koloni di pinggir bibir pantai. Ini sungguh paduan kontras yang menawan dengan pantainya yang berbalut pasir putih yang menghampar. Sementara lautnya berwarna biru tua di kejauhan, dan berwarna tosca pada yang dekat bibir pantai. Segera saja, air laut itu menjadi putih dan berbuih ketika menyentuh pantai.
Melihat besaran ombaknya yang cukup besar, pantai Lampu’uk menarik untuk surfing, boleh jadi untuk snorkling. Pantai Lampu’uk bisa dipakai berenang dengan jarak tertentu, dengan batas bola-bola yang terapung di laut. Nawir  bercerita, sempat ada tentara Amerika yang meninggal terseret arus ombak di sini. Saya sempat pula mendengar, beberapa wisatawan lokal ada yang meninggal, tenggelam di pantai ini. Sepertinya, kemampuan berenang dan keinginan untuk bermain-main di tepi pantai ini saja tak cukup, melainkan harus tetap waspada dan berhati-hati.
Udara begitu panas. Kulit saya terasa terbakar. Sekalipun begitu, saya tak merasa ketakutan kulit coklat saya akan menjadi semakin cokelat tua, ketika harus mengambil sudut-sudut gambar. Ketika di tengah alam raya, saya selalu lupa standar kecantikan menurut pabrik kosmetik, bahwa perempuan haruslah berkulit putih dan langsing.  Saya selalu lupa untuk menanamkan di pikiran, bahwa tubuh perempuan adalah pusat kesadaran. Jika saya harus selalu berpikiran begitu, maka tak akan bisa menjelajah alam, menembus panas dan hujan, dan juga berteman dengan kesulitan. Hanya rasa lapar saja yang memaksa untuk menikmati ikan bakar banyak di jual di pantai ini dan duduk-duduk di pondok.
Syukurlah, Mas B.Tou telah memasangkan  teman perjalanan yang tepat. Keduanya sangat menyenangkan. Mereka bukan hanya baik, tetapi juga sabar dan senang membagikan cerita-cerita tentang budaya Aceh, yang ternyata berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya. Sungguh, budaya Aceh itu unik dan tidak homogen.
‘Ikan di sini manis, Bu..’ kata Nouva sambil memilih ikan yang akan di bakar dan memesan kelapa muda. Dua ekor ikan bakar segera menemani percakapan kami di pondok-pondok yang berjajar. Benar saja, ikan di Banda Aceh memang lain, manis dan gurih. Entah juga, sih..mungkin saja kami sedang lapar. Percakapan sambil mengelilingi dua ekor ikan, satu piring kecil tulis kangkung dan tiga butir kelapa  terkadang diselingi derai tawa.
‘Perempuan di Aceh itu dihargai tinggi, Bu. Maharnya pun mahal..’ kata Nouva.
Untuk cerita Nouva ini, saya pernah mendengarnya. Bila nilai mahar perempuan kurang dari 10 mayam, hampir dipastikan dari status sosial rendah. Mahar ini variatif, bahkan di sebuah daerah tertentu di Aceh, bahkan bisa sampai 70 mayam.
Saya jadi teringat cerita guide sekaligus sopir travel ketika mengunjungi Pulau Sumba Nusa Tenggara Timur, mungkin di Pulau Sumba mahar itu jauh lebih mahal di bandingkan Aceh, 100 ekor kuda, sapi dan kerbau. Tetapi, itu tergantung kepandaian menawar sang calon menantu laki-laki.
‘Kalau Iedul Adha di sini ada tradisi, menantu laki-laki harus mengirim daging kepada mertua’ kata Nawir.
‘Ya, sebuah kehormatan bagi seorang mertua yang diberi daging oleh menantu lelakinya. Di sini memang tradisinya ketika menjelang hari raya adalah makan daging..’ lanjut Nawir sembari menambahkan cerita itu dengan harga daging yang ada di pasaran.
Ketika kami beringsut dari pondok makan itu, sekali lagi, saya melongok ke hamparan laut. Sungguh,  berat meninggalkan tempat ini. Konon sunset di sini sangat indah. Saya percaya. Tanpa sunset pun laut ini sangat menawan. Seperti pun Nawir, sebagai seorang pencinta alam, saya menyukai hutan, tetapi bukan berarti tidak menyukai laut. Dan Pantai Lampu’uk ini terlalu sayang dilewatkan begitu saja  jika mengunjungi Banda Aceh.
Di  hari libur, pantai ini banyak dikunjungi orang. Bagi saya secara pribadi, mengunjungi tempat-tempat yang biasa dikunjungi banyak orang di waktu libur, kurang greget, lebih nyaman di kunjungi di hari kerja. Setidaknya, kawasan itu seolah-olah property milik sendiri. Ya, karena bukan hari libur, tidak banyak yang datang ke tempat ini, hanya sekelompok remaja dan beberapa orang dewasa yang nampaknya dari perkantoran yang sengaja untuk makan siang di sini.
Dengan setengah enggan kaki melangkah, saya harus meninggalkan pantai ini. Saya percaya pada Nouva dan Nawir akan memberikan pengalaman  perjalanan lain yang tak akan  terlupakan
Bersambung....
__
Ikuti artikel sebelumnya :
banda aceh menyusuri jejak-mimpi 1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H