Sepucuk surat ini aku sampaikan padamu, adikku. Dan akan kubiarkan layang-layang kehidupan yang akan memberikannya padamu. Semoga surat ini sampai padamu di tengah bulan Agustus pada suatu sore dimana engkau duduk di sisi jendela. Ketika itu kuharap engkau sedang menatap lembut lembayung berwarna magenta, menyapu tirai kamarmu. Dan aku berharap ada seulas siluet bayang warna jingga yang terurai dari cahayasenja..
Aku ingin mengabarkan cerita tentang seorang perempuan yang air matanya tak pernah berhenti mendo’akan sepotong jiwa yang setiap detik berjudi antara hidup dan mati. Ia telah menjadikan seorang sepotong jiwa itu adalah “utusan Tuhan” yang mengetuk pintu hatinya untuk melembutkan sanubari dan memenuhi setiap relung di dadanya dengan cinta dan kasih sayang. Karena perempuan itu begitu menyayangi sepotong jiwa yang menjadi tamsil kefanaan kehidupan, maka ia selalu hadirkan sepotong jiwa itu dalam do’a-nya.
Adikku…
Hari itu, hujan yang janggal tak tahu musim telah berganti di ujung bulan Juli. Ia telah menerbangkan seluruh perasaannya, dan mencoba menyakini bahwa sepotong jiwa itu masih ada. Ia mencarinya sambil berjalan di ujung gang yang sempit, sambil menyembunyikan wajahnya dengan kerudung putih yang telah basah dengan air mata dan air hujan yang tampias dari rumah-rumah petak sederhana. Ia tak ingin seorang pun mengetahui hatinya sedang berduka. Duka itu menjadi rahasia hatinya dan Tuhannya.
Ia terus berjalan untuk melarutkan lara yang menggumpal agar larung seiring rinai yang jatuh di pelupuk mata. Namun sia-sia, karena di setiap tetes air hujan yang menggenang menjelma menjadi lukisan bayangan. Bayangan sepotong jiwa, seorang pecinta hujan yang telah memberinya aroma transendental, yang menghubungkan jiwanya dengan Langit dan Sang Maha Raya.
Perempuan itu menatap ke langit, agar air mata-nya bersatu dengan tetes air hujan berharap seluruh bayangan di langit adalah malaikat-malaikat yang terbang dengan sayap-sayap harapan, dan membawa do’a-do’a-nya, kendati seluruh tubuhnya telah menggigil kedinginan. Namun ia tak ingin hujan berhenti, karena hujan-lah yang akan menghubungkan seluruh perasaannya dengan sepotong jiwa itu. Namun langit ternyata menghentikannya. Perempuan itu terluka.
Agustus telah tiba adikku, musim telah berganti.
Hujan tak lagi datang
Perempuan itu menggenangi sajadah dalam sujud dengan hujan air matanya
Yang ia percayamusim pun tak akan pernah mampu menghentikannya.
_________
Bandung, 11 Agustus 2011
= Dengan sepenuh cinta bagi Danny Wijaya, Uleng Tepu, Suri Nathalia & Indriati See=
Sumber gambar : www.anekaratna.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H