Mohon tunggu...
Erna Suminar
Erna Suminar Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar, sederhana dan bahagia

# Penulis Novel Gerimis di El Tari ; Obrolan di Kedai Plato ; Kekasih yang tak Diinginkan ; Bukan Cinta yang Buta Engkaulah yang Buta. Mahasiswa Program Doktor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ajaran Sufi Tentang Diri Yang Tercadari

25 Januari 2011   21:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:11 4125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi Al Ghazali dan Al Farabi jiwabukanlah sebuah entitas tunggal. Di dalam jiwa ada jiwa insani (berpikir), jiwa binatang dan jiwa nabati. Sedangkan ruhdipandang sebagai sumber kesucian, Ada pun jasad diciptakan dari materi yang di ciptakansebagai alat untuk melayani kehendak ruh dan jiwa. Ajaran Sufi ini memusatkan pada penyucian rohnya, mengendalikan jiwanya agar menjadi jiwa yang muth’mainah (jiwa yang tenang). Seperti yang sering dikatakan oleh para sufi, “ Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” (Barangsiapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya).

Untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta agar dapat ke puncak tassawuf, biasanya orang mengikuti jalan yang disebut tariqah. Sedangkan untukmencapai puncak tassawuf inimanusia memulai latihan ruhani melalui etape-etape yang di dalam bahasa Arab disebut dengan maqamat.

Etape pertama yang dilakukan calon Sufi adalah bertaubat dari dosa-dosa besar maupun kecil. Memperbanyak membaca Qur’an, shalat dan berzikir dan berjanji untuk tidak melakukan dosa sekecil apapun.

Etape yang kedua adalah Zuhud, para calon sufi harus menempuh kehidupan yang sederhana dan tak tergoda dalam kesenangan dunia. Ia harus menyedikitkan tidur dan lebih banyak terjaga untuk beribadah.

Etape yang ketiga adalah wara’ dimana para calon sufi tidak menyentuh maupun mendekati perbuatan, makanan maupun harta lainnya yang syubhat (belum jelas hala atau tidaknya).

Etape yang keempat adalah faqr, yakni menjalani hidup kefakiran. Mengambil kehidupan sekedar yang ia butuhkan. Ia tidak meminta sekali pun ia tidak punya.

Etape yang ke-lima adalah sabar, ia sabar menjalankan semua perintah dan larangan Allah serta menerima berbagai ujian serta cobaan dalam hidup.

Etape ke-enam yakni tawakal, yaitu menyerahkan diri sepenuhnya pada ketentuan Allah dengan sepenuh hati dan sepenuh jiwanya, kendati ia tak memiliki apa-apa. Allah sudah cukup baginya.

Etape yang ke-tujuh adalah ridla, ia tidak menentang apa yang sudah diberikan Allah maupun segala ketentuan untuknya. Ia hanya ingin dekat dengan Tuhan, mencintai Tuhan Tak ada rasa benci, iri dengki, hatinya telah berubah menjadi jiwa yang tenang.

Dan setelah seluruh etape ini selesai, maka perjalanan kemudian ia akan menikmati mahabbah, yaitu kecintaan kepada Illahi dengan menyerahkan dirinya hanya pada Allah dan mengosongkan seluruh hatinya hanya untuk namaNya. Setelah itu sampailah ia ke ma’rifah yaitu ia mengenal Tuhan dengan hati nuraninya. Dan inilah etape yang paling dicari oleh kaum sufi.

Sulit Dipahami Syariat

Cara berpikir seorang sufi memang agak sulit dipahami oleh orang-orang yang melihat Islam dengan pendekatan syariat. Dalam mendekati Tuhan, para Sufi lebih mengedepankan kalbu. Kalbu dipakai oleh para sufi karena ia dapat mengenal sifat-sifat Tuhan. Melalui ruh ia dapat mencintai Tuhan, dan Sirr untuk melihat Tuhan melalui mata hatinya.

Para ahli syariat umumnya melihat bahwa praktek-praktek keagamaan yang dilakukan para sufi seringkali bertentangan dengan aqidah. Salah satunya adalah persatuan dengan Tuhan yang disebut dengan ittihad. Sebelum mencapai ittihad, para sufimengatakan kalimat yang aneh didengar yang disebut dengan syatahat . Seperti yang pernah di katakan oleh Al Hallaj, “ Ana ‘l –Haqq (Akulah yang Maha Benar). Para Sufi menyatakan, apa yang dikatakan Al-Hallaj itu adalah kata-kata Tuhan melalui lidah Al Hallaj. Sementara kaum Syariat memandang hal itu adalah pengakuan diri Al Hallaj sebagai Tuhan dan bahwa Al Hallaj telah bersekutu dengan syaitan.

Ajaran lebur dengan Tuhan ( manunggal dengan Gusti Allah) inilah yang juga menjadi sentral kritik banyak pihak sebagai sesuatu hal yang imposible dan mengada-ada, kebohongan para sufi sertalebih jauhlagi di cap sebagai orang sesat..

Justifikasi sesatdari kaum syariat ini dalam pandangan Harun Nasution karena ajaran-ajaran Sufi terkadang diselewengkan dan menyimpang dari tujuan sebenarnya yakni, alih-alih sufi untuk menyucikan diri malah menyalahi ajaran dasar sufi dan syariat Islam, sehingga timbul pertentangan antara kaum syariat dan kaum tarekat.

Ajaran Sufi dituduh oleh tokoh-tokoh pembaharuan Islam seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha danKamal Ataturk sebagai sebab kemunduran Islam, karena dipandang sebagai ajaran yang hanya asyik masyuk dengan diri sendiri, hanya menyelamatkan diri secara personal ke hutan, gunung dan ke tempat-tempat lainnya untuk mengasingkan diri, menjalani hidup bagai pertapa yang sedang bersemedi dan melupakan tanggung jawab sosial. Sementara kehidupan dalam realitasnya butuh bekerja bersama-samauntuk menyelesaikan berbagai problematika yang ada.

Jangan Jadi Burung Yang Patah Sayapnya.

Dalam sebuah kisah Sufi, ada dua tokoh Sufi yang bertemu dan terjadi dialog diantara mereka tatkala mereka melihat burung yang patah sayapnya yang sedang disuapi oleh burung lainnya disebuah padang pasir.

Subhanallah, dengan kuasanya tak pernah sedikit pun Allah meninggalkan hambaNya. Mengapa aku harus mencari rezeki Allah, untuk burung yang patah sayapnya sekali pun Allah tidak melupakannya”.

“ Benar saudaraku, rahman dan rahim Allah meliputi segala sesuatu. Namun, burung yang mengantarkan makanan kepada burung yang patah sayapnya jauh lebih baik, ia lebih memiliki kekuatan untuk memberi daripada kepasrahan hanya menerima “.

Dialog ini memperlihatkan bahwa didalam dunia sufi sekalipun, ada perbedaan jalan dan pendapat dalam memandang makna tawakal.

Ajaran Sufi Yang Tercadari

Dalam pandangan Sufi, semua manusia adalah mahluk ruhani yang terbungkus jasadi. Karena itu para sufi dengan sekuat tenaga mendekati Allah dengan membersihkan hatinya Kelembutan hati para sufi ini beberapa diantaranyamenghasilkan karya tulis dan karya-karya seni, seni musik dan gerakan tari yang sangat indah seperti yang diwariskan oleh Al Hallaj, Jalaluddin Rumi, Muhammad Iqbal dan lainnya.

Pengutamaan pembersihan kalbu dan sifat belas kasihnya tak menyediakan ruang bagi seorang sufi untuk memenuhinya dengan kebencian Yang ada hanyalah cinta. Tak heran jika pada kematian seorang Sufi seperti Jalaluddin Rumi ditangisi oleh Muslim, Kristen maupun Yahudi.

Namun tidak sedikit, kaum Sufi yang menempuh jalan tawakal, mengabaikan usaha, terus menerus berdzikir, membaca Qur’an, shalat dan berpuasa serta mejalani hidup berdekatan dengan aroma mistis. Mereka dipandang sebagai orang fatalis yang “saleh” tapi tak berdaya guna.

Profil Sufi

Pada hakekatnya Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan, mencintai Tuhan dan manusia adalah sama pentingnya. Bekerja dan berdo’a adalah sebuah kesatuan gerak yang sama-sama dipandang sebagai perbuatan mulia. Antara do’a dan ikhtiar bukan hal yang saling meniadakan.

Upaya menyucikan jiwa seperti inti daripada tassawuf, mencintai Allah dan termanifestasikan dengan sifat belas kasihnya kepada sesama dan seluruh penciptaanNya. Menjaga diri dari harta yang syubhat apalagi yang haram, Tidak tergoda oleh kesenangan duniawi dan menjalankan hidup sederhana namun banyak amalnya adalah nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh semua pihak.

Komaruddin Hidayat menegaskan mengenai profil seorang sufi kontemporer bahwa, “ Seorang hamba Allah yang saleh adalah sekaligus wakilNya untuk membangun bayang-bayang surga di muka bumi. Bukankah Allah punya blue print dan proyek memakmurkan bumi, dan bukankah hamba-hamba-Nya yang saleh telah dinyatakan sebagai mandataris-Nya? Jadi secara karikatural, seorang sufi kontemporer tidak asing berdzikir dan berpikir tentang Tuhan sekalipun di hotel mewah dan datang dengan kendaraan mewah pula”. Sufi kontemporer yang dimaksud Komaruddin Hidayat ini, adalah orang yang memiliki harta benda, pangkat dan jabatan  tetapi hati dan pikirannya tak terikat oleh hal-hal yang bersifat kesementaraan  serta sangat   duniawi.

Wallahu ‘alam bissawab.

________________________

Sumber Gambar : Google

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun